Mohon tunggu...
Tiara Karina Pandiangan
Tiara Karina Pandiangan Mohon Tunggu... Lainnya - Murid SMAN 28 Jakarta

in Saus und Braus leben

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas Pilihan

Cerpen: Jurnal, Waltz, dan Perbukitan Manchuria

26 November 2020   11:24 Diperbarui: 26 November 2020   12:13 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Warfare History Network

Musim panas yang cerah dan angin sepoi-sepoi yang lembut membuat Ekaterina ingin memilah-milah dan membongkar gudang rumahnya. Keluarganya telah menempati rumah keduanya ini selama berpuluh-puluh tahun. 

Rumahnya yang ini berada di Hokkaido, dan rumah yang satunya berada di Moskow. Ia sudah terbiasa berbolak-balik dari Rusia ke Jepang; dan untuk tiga tahun ini ia memutuskan untuk tinggal di Jepang saja, hanya karena ingin dekat dengan kawan sejak kecilnya, Ichika.

Ichika menemani Ekaterina membongkar gudangnya. Ia menopang kepalanya di telapak tangannya sembari menonton kawannya memilah-milah vinyl dan CD, menonton saja, tidak ikut membantu. Ekaterina dengan hati-hati menaruh tumpukan vinyl di lantai, lalu mengikat rambut pirangnya yang panjang itu.

"Mendingan kamu bantu, Ichi..." Ekaterina berkata sembari mengobservasi satu-satu vinyl tersebut.

"Emangnya kamu ngapain, sih?" Ichika bertanya dengan rasa penasaran.

"Nyari waltz-waltz tua yang disimpan ayah."

"Waltz? Buat apa? Kenapa harus ngebongkar? Padahal kan di internet banyak, kamu tinggal ketik terus klik aja. 'Kan nggak susah, daripada begini, berdebu- uhuk!" Ichika yang sedang banyak bertanya bak wartawan terpotong oleh awan debu yang terhempas ke wajahnya, akibat Ekaterina membanting vinyl-vinyl tersebut di meja, di depan Ichika. "Uhuk- mana gak sayang barang, pula."

"Bukan barang aku ini." Ekaterina menjawab dengan santai, dengan perasaan acuh-tak-acuh.

Perkataan Ekaterina membuat Ichika sedikit kesal. Ichika pun mulai cerewet lagi. "Oi, itu barang lama. Mahal, tahu! Apalagi itu punya ayahmu, kan? Nanti ayahmu-"

"Nah, ini dia." Sekali lagi, perkataan Ichika terpotong karena ulah kawan pirangnya itu. Ia mengangkat suatu vinyl dengan tatapan puas dan bahagia.

"Apa lagi itu? Waltz-nya? Ketemu?"

"Yap." Ekaterina mengambil sebuah post-it note yang tertempel di bagian tengah vinyl. "Ngapain sih, nempelin post-it note di vinyl..."

Post-it note tersebut berhasil menarik perhatian kedua sahabat tersebut, dikarenakan tulisan cursive yang hampir tidak bisa terbaca. Mereka mencoba untuk membacanya, namun coretan-coretan pensil itu sudah banyak yang pudar. 

Syukurnya, mereka masih bisa melihat apa yang tertulis disitu. Ada sebuah list lagu waltz yang tertulis; yang kelihatan hanya beberapa, diantaranya The Blue Danube, Fruehlingsstimmen, The Second Waltz, dan satunya lagi dalam huruf Sirilik.

Ichika menunjuk ke tulisan huruf Sirilik tersebut. "Tulisannya apa? Aku gak hafal huruf Rusia."

Ekaterina menyipitkan matanya yang besar. Tulisan itu sedikit pudar, namun ia berusaha untuk membacanya- "Na sop.. sopkah... Man.. Manch? Ah! Na sopkah Manchzhurii."

"Artinya?"

"Sebentar! Ini ada tulisan kecil di bawahnya..." Ekaterina mencoba untuk membaca tulisan tersebut dan langsung menerjemahkannya. "Lagu yang membuatku sedih tanpa sebab. Aku ingin tahu penyebabnya." Ia membalikkan post-it note tersebut, dan menemukan tulisan lain yang masih jelas. 

Tulisan itu seharusnya mudah dibaca, namun tidak untuk Ekaterina. Tulisannya dalam bahasa Jepang, lengkap dengan kanji, sedangkan gadis Rusia itu tidak bisa membaca kanji, dan tidak begitu mengerti bahasa Jepang. Ia pun menyerahkannya kepada Ichika.

'Seharusnya Viktor membaca jurnal yang di koper-nya sendiri. Pantas ia tidak tahu sebabnya.'

Kedua gadis itu saling bertatapan dengan bingung. Apa maksudnya? Viktor 'kan, ayahnya Ekaterina. Lalu, siapa yang menulis huruf Jepang tersebut? Jurnal apa, di koper yang mana? Apa hubungannya dengan waltz tua Rusia tersebut? Banyak pertanyaan muncul di benak keduanya.

Ichika membuka mulutnya, hendak menembakkan banyak pertanyaan dengan cepat dan non-stop. Namun, sebelum ia bisa melakukannya, Ekaterina sudah berbicara terlebih dahulu. Perasaan Ichika pun mulai tidak enak.

"Kamu penasaran, gak? Aku sih penasaran. Aku mau cari tahu, dan kamu harus bantu."

Perasaan tak enak Ichika pun benar. Ekaterina malah tambah membongkar gudangnya. Tapi, jika dipikir-pikir lagi... Ichika sendiri tidak ada pekerjaan penting yang harus dilakukan.

"Hm, ya udah! Apa yang dicari?"

"Koper! Mungkin koper jadul." Jawab Ekaterina sambil mengacungkan jarinya.

Ichika berdiri dan merenggangkan tubuhnya yang agak pendek. "Oke, koper ayahmu 'kan ada banyak. Kita mulai dari mana?"

Pandangan Ekaterina tertuju pada rak di ujung ruangan, yang penuh dengan tumpukan koper. Pandangan Ichika mengikuti pandangan temannya, dan ia mengesah malas. "Mending rapihin dulu ini semua..."

Beberapa jam berlalu, dan akhirnya mereka menemukan koper yang dicari. Mereka memeriksa beberapa koper, berharap akan menemukan jurnal atau semacamnya di dalamnya; tetapi tidak menemukannya. Mereka akhirnya menemukannya ketika mengambil koper terakhir yang tersisa; yang tua, berdebu, dengan beberapa sarang laba-laba di atasnya.

Jurnal tipis itu sudah tua dan usang, tetapi meskipun sudah tua, jurnal itu bisa dibilang masih dalam keadaan bagus dan terlihat sangat terawat untuk barang setua itu, dan hampir semua halaman masih utuh. 

Ekaterina membuka jurnalnya; dan menemukan tulisan yang berbunyi, 'Milik Viktor K. 1905.' Ia bingung, karena Viktor adalah nama ayahnya, dan pastinya ia belum lahir pada tahun itu...

"Ini tentang apa?" Ichika bertanya, rasa penasaran yang berlebih mulai menguasai dirinya, namun ia berusaha untuk menahannya.

"Aku nggak tahu. Kurasa kita harus membacanya."

"Yang bikin aku takjub itu fakta bahwa barang ini berusia lebih dari seratus tahun dan masih dalam kondisi baik. Siapapun si Viktor ini, ia melakukan kerja yang bagus merawat barang."

Ekaterina membalik halamannya, dan menemukan sebuah tulisan berbahasa Rusia- sebuah lirik lagu, tepatnya. Itu adalah lirik lagu waltz yang disebutkan sebelumnya. 

Ia membalikkan halaman lain, dan menemukan tulisan berbahasa Rusia yang lain, dari bulan Februari tahun 1905, yang berbunyi, 'Aku adalah Viktor Kuznetsov, dan aku akan menulis di buku ini. Aku harap aku bisa menjaga buku ini dengan baik, dan keturunanku akan menemukannya, bahkan jika aku tidak memilikinya ...'

Kedua gadis itu menatap satu sama lain dengan rasa penasaran. Mereka tidak terlalu mengerti kalimat terakhir yang berbunyi aneh itu. Ini sangat membingungkan dan.. aneh, bahkan marga Viktor pun sama dengan marga Ekaterina, namun tidak mungkin jurnal ini milik ayahnya, kan?

 Ekaterina pun mengetahui silsilah keluarganya dengan baik, bahkan hingga ke tahun 1800an pun, namun ia tidak pernah mendengar anggota keluarga kedua yang bernama Viktor selain ayahnya sendiri. 

Mungkin jurnal ini milik orang lain yang bernama sama, dan menyasar ke keluarganya? Namun, post-it note sebelumnya benar-benar milik ayahnya, dan Ekaterina hafal betul tulisan ayahnya. Ia makin bingung, dan melanjutkan membacanya. Kalimat-kalimat yang berlanjut terlalu menarik untuk diabaikan...

+++

"Keturunanku akan menemukannya, bahkan jika aku tidak memilikinya, karena aku percaya pada reinkarnasi." Seorang prajurit muda menulis sambil berbaring telentang di ranjang susunnya, temannya bersandar di pinggir ranjangnya, alih-alih naik ke bagian atas ranjang prajurit muda itu.

"Good old Viktor. Percaya pada sesuatu yang pasti tidak mungkin! Tapi terserah, lakukan apa yang kamu suka. " Kata kawan prajuritnya, Igor, sambil menghisap rokoknya dan memeriksa senapannya.

"Aku tidak suka perang ini, Igor! Apa kamu tak pernah terpikir kalau kita bisa mati kapan saja?"

"Ya, ini 'kan perang, kawanku! Tentunya kita akan mati kapan saja, tak ada yang tahu. Semuanya akan mati pada waktunya, bagaimana tidak? Kamu bisa tidur lelap dan Jepang sialan itu akan tiba-tiba menembakmu sampai mati---memang hobi sialan mereka itu, serangan mendadak---tetapi amit-amit! Kita akan menang!"

Di saat itu, perang Rusia-Jepang sedang berlangsung, karena Kekaisaran Rusia dan Kekaisaran Jepang saling tak setuju mengenai siapakah yang seharusnya mendapatkan bagian dari Manchuria dan Korea. 

Perangnya sudah berlangsung sejak 1904, dan setahun lebih telah berlalu sejak Jepang menyerang mendadak Port Arthur, sebuah pangkalan angkatan laut Rusia di Cina. 

Viktor dan kawan-kawannya direkrut bersama ke Resimen Infanteri Mokshansky sejak saat itu, dan ajaibnya masih bertahan hingga sekarang. Viktor bertanya-tanya kepada dirinya, kapankah perang ini akan berakhir. 

Ia sudah muak dengan segala tumpah darah yang ia saksikan langsung di lapangan. Ia hanya ingin pulang dengan damai, kembali ke rumahnya dan keluarganya yang tersayang. 

Atau mungkin, kembali ke masa lalu saja, saat Viktor dan kawan-kawannya masih berumur remaja, mereka berkenalan dengan beberapa orang Jepang yang datang ke Rusia entah untuk apa, Viktor tidak pernah tahu ataupun peduli. Ia, Igor, Alexei, dan Mikhail pun berteman baik dengan anak-anak orang Jepang itu, yang umurnya setara dengan mereka. 

Ikatan perkawanan kelompok kecil Viktor dengan tiga anak Jepang itu sangat kuat, seolah tidak bisa dipecahkan; tidak ada yang bisa memecahkan perkawanan yang kuat, kan? 

Sayangnya, mereka kembali ke negaranya setahun sebelum serangan Port Arthur, dan Viktor yang sedang tiduran termenung pun memikirkan kabar ketiga kawannya itu.

Viktor bertanya, sambil memandang langit-langit kayu yang tidak jauh berada di atasnya. "Juga, apa kamu tidak memikirkan kalau Akihiko, Hyousuke, dan Akari bisa saja ada di pihak mereka? Kau ingat mereka, kan?"

"Mereka? Aku ragu mereka akan bergabung dengan tentara Kekaisaran Jepang dan berperang melawan kami... Aku pikir mereka ada di pihak Jepang sendiri, sih. Mereka tidak punya alasan untuk berada di pihak kita." Igor mendengus pelan dan menaruh senapannya dengan pelan. "Bagaimana perasaanmu untuk Akari?"

Pertanyaan Igor membuat hati Viktor sedikit sakit, ia cemberut. Viktor naksir dengan gadis Jepang itu sejak lama, namun cinta itu tidak pernah ditakdirkan. 

"Ada baiknya kau diam saja." Katanya pelan, menutup jurnalnya. Ia memandang lama gelang tali di pergelangan tangan kanannya, gelang pemberian Akari sebelum ia kembali ke Jepang. Viktor bersumpah untuk tidak pernah melepasnya.

Percakapan mereka tentang masa lalu yang indah sebelum perang besar ini berlanjut, lalu datanglah dua kawan lainnya, Alexei sang peniup selompret dan Mikhail sang pemain terompet. Keduanya duduk dekat Igor, menghadapi tempat tidur Viktor. 

Alexei menaruh empat gelas air panas untuk menghangatkan diri, karena dinginnya musim itu pun menembus masuk ke dalam ruangan. 

Siapa yang tahu betapa buruknya musim dingin di Manchuria? Mereka semua menghabiskan waktu santai yang sangat sedikit- hampir tidak ada malah, sekeras mungkin mencoba mengabaikan ketegangan di udara dan fakta kalau mereka bisa saja diharuskan keluar dan bertempur tiba-tiba.

+++

Kembali ke masa kini, kedua gadis itu tidak bisa berkata-kata setelah membaca bagian pertama dari jurnal tersebut. Mereka tidak menyangka akan menemukan sebuah barang berharga dari masa pertempuran terbesar sebelum Perang Dunia I, langsung dari salah satu prajuritnya, pula. 

"Perang Rusia-Jepang, ya... Ah, aku pernah baca-baca tentang itu," ucap Ichika sambil berpikir, "dilihat dari tahunnya dan tempatnya, kayaknya ini pas pertempuran Mukden, deh."

"Oh, iya, yang memakan korban sangat banyak. Tapi, menurutmu, si Viktor ini siapa?"

"Lah, kok nanya aku."

"Hmm, lanjut baca aja. Aku mau setel lagu." Kata Ekaterina sambil berdiri, mengambil vinyl waltz tadi dan dengan pelan menaruhnya di fonograf tuanya yang berdebu.

Ichika pun berniat melanjutkan membaca jurnal tersebut, namun ia baru ingat bahwa ia tidak bisa berbahasa Rusia. Jadinya Ichika duduk diam saja menunggu Ekaterina kembali dan menerjemahkan seluruh isi jurnal tersebut, karena alat penerjemah di internet tidak bisa mendeteksi tulisan tangan yang agak memudar.

+++

[Lirik lagu On the Hills of Manchuria, yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia]

Di kabut pagi, sebuah terompet telah membunyikan signal.

Pada pagi yang dingin dan berkabut, Viktor dan kamerad-kameradnya sedang berbaris di lapangan, mengumpulkan mental dan keberanian untuk pertempuran yang akan datang tak lama nanti. 

Ia sudah siap, jika takdir bekerjasama dengan kematian memanggilnya. Ia sudah siap, jika ia tidak mati- namun kawan-kawan seperjuangannya yang hilang nyawa, dan ia ditinggal sendiri. Ia sudah siap menghadapi pertempuran besar ini.

Tangannya yang bergetar menepis butiran salju yang mendarat di senapannya. Suasananya terkesan damai, jika ia lengah, ia bisa saja terlena dan tidak was-was; namun senjata di tangannya dan sepatu boots yang ia kenakan mengingatkannya pada realita. 

Ia bisa mendengar Igor berbicara sendiri, "Kita akan menang. Rusia akan menang." Viktor bisa merasakan dadanya menggelitik sedikit- menggelitik dengan ketegangan- karena ia harus menghadapi situasi seperti ini lagi; sebuah situasi yang ia tidak terlalu ingin hadapi. 

Tapi apa masalahnya kembali ke situasi ini? Lagipula kalau ia mati pun tidak apa, kemenangan Rusia lebih penting. Jepang mungkin brutal dalam penyerangan, namun senjata dan pasukan mereka tidak sebanyak, tidak secanggih, dan tidak sehebat Rusia. Jepang dengan katana, Rusia dengan senapan canggih. 

Mereka tidak tahu siapa yang mereka lawan. Pikiran tentang Jepang pun mengingatkan Viktor kepada ketiga kawannya itu, terutama Akari. Ia melihat gelang pemberian gadis itu dengan rasa sedih, namun gelang itu berhasil memotivasinya untuk optimis bahwa ia akan hidup dan menang.

Pikirannya tentang Akari, perang, dan gelang itu terpecah oleh suara terompet yang dibunyikan kawannya. Terompet yang menandakan mulainya pertempuran. Terompet yang memaksanya untuk maju dan berjuang.

Kedamaian yang lembut di bukit-bukit yang tertidur
Terpecah karena pawai pertempuran.

Beberapa jam telah berlalu, dan kuping Viktor kebisingan oleh teriakan-teriakan dari kedua pihak, suara-suara tembakan dan ledakan yang dahsyat, ia hampir tidak bisa berdiri dan konsentrasi. 

Viktor maju dengan susah payah- salju menghantam wajahnya, bahkan ada yang masuk ke matanya; namun ia tidak bisa berhenti untuk mengucaknya. 

Kemenangan Rusia lebih penting daripada mata kelilipan. Ia melaju dengan semangat yang membara, menembak kesana-sini, menarik kawannya yang hampir kena peluru, dan melihat banyaknya kawan-kawan seperjuangannya yang jatuh dengan lemas ke dataran yang dingin. 

Tembakan senjata yang hebat bertemu dengan garis infanteri.

Percikan-percikan merah darah pun menghiasi putihnya salju, layaknya sesuatu yang murni dikotori oleh dosa. Lebih banyak pejuang yang rubuh ke tanah, jiwa mereka dijemput oleh malaikat maut, dan dibawa ke penghakiman Tuhan Yang Maha Esa. Wajah Viktor yang awalnya hanya kotor karena tanah sudah mulai tertetes darahnya sendiri. 

Igor yang awalnya berada tidak jauh darinya pun sudah tidak tahu ada dimana, dan sebuah pikiran terbesit di otak Viktor, namun ia membuangnya jauh-jauh. Tidak, Igor pasti masih hidup. 

Tanah bangkit di depannya,
Pecahan peluru meledak di langit.

Viktor pun berlari kencang, menghindari tembakan meriam, dan nyaris saja terkena ledakan bom dari tanah. Ia menunduk sambil berlari saat shrapnel-shrapnel menghujani dirinya. 

Rasa perih yang teramat di pipinya dan lengannya yang terkena gesekan peluru tidak membuatnya berhenti berlari. Prajurit muda itu terus menerjang. Ia optimis Rusia akan memenangkan pertempuran ini dengan cepat, karena it's a piece of cake, kan? 

Andai saja Viktor tahu betapa besarnya dan betapa sulitnya pertempuran yang satu ini akan berlanjut. Mungkin ia akan menarik kata-katanya yang sering ia ucapkan saat berkumpul dengan kamerad-kameradnya, kata-kata yang terkesan remeh.

Peniup selompret muda itu jatuh terdiam,
Pawai pertempuran pun hampir tak terdengar

Dan cornet-nya tidak terdengar, dan tanduk Perancis-nya,
Hanya pemain trompet berambut abu-abu yang bermain.

Di tengah rusuhnya perang, orkestra regimen memainkan alunan pawai pertempuran dengan semangat, tanpa rasa takut. Alunan musik yang terdengar semangat itu hampir tidak terdengar, terkalahkan oleh berisiknya suara tembakan dan ledakan. 

Alexei dan Mikhail pun terus memainkan alat musik mereka, berusaha sekeras mungkin untuk mengatur nafas dan tidak terpecah konsentrasinya. 

Mata Alexei menangkap sosok Viktor dan Igor yang sedang berlari sekeras mungkin, matanya membesar dengan perasaan horor saat ia melihat Igor terjatuh. 

Seorang prajurit Jepang berada tepat di depan Igor, mengarahkan senapannya ke arahnya. Alexei terlalu panik melihat kawannya yang sedang berada dalam bahaya, ia ingin menjatuhkan selompretnya dan berlari membantu Igor, namun ia tidak bisa, karena tugasnya untuk saat ini adalah terus meniup selompret yang ia pegang. 

Konsentrasinya terbuyar, nada yang ia mainkan mulai salah-salah, dan ia tidak melihat prajurit Jepang yang menembakkan peluru kearahnya sendiri.

Selompret Alexei jatuh, diikuti oleh pemiliknya. Mikhail syok berat melihat tubuh Alexei jatuh tak bernyawa, namun ia tetap memainkan terompetnya sembari menahan tangis. 

Lalu tetiba kawannya yang semula bermain tanduk Perancis juga terjatuh. Mikhail tetap melanjutkan meniup terompetnya, nadanya terdengar rusak. Sebuah lagu tidak akan jadi jika hanya satu orang dalam band yang bermain musiknya, namun apa boleh buat?

Naik dan maju!
Sederet parit sudah dekat.

Tanah membawa kematian untuk ditemui,
Namun kita tidak ada jalan untuk kembali lagi.

DOR! Senapan yang sudah siap mengambil nyawa Igor pun terjatuh ke salju. Nyawa Igor diselamatkan oleh seorang prajurit, dan Igor langsung berdiri, mengambil senapan orang Jepang itu, dan menendang kepalanya yang bolong tertembak. Ia dan prajurit itu berlari maju, menembak, menghindari, menembak, menghindari.

"URAAAAAAAAAA!!!!!"

Pasukan prajurit Rusia berteriak, sambil berlari lebih cepat dengan semangat yang membara. Garis infanteri sudah hancur, tampaknya tidak ada lagi yang memperdulikannya. Mereka pun menembak prajurit Jepang habis-habisan. 

Banyak sekali prajurit Jepang yang terbunuh, namun tidak kalah banyak pula prajurit Rusia yang juga terbunuh. Deretan parit Jepang sudah terlihat; makin membesar dan membesar. Kaki mereka bergerak dengan cepat, seakan-akan tidak mengenal lelah. Viktor sudah benar-benar tidak mengganggap pertempuran ini enteng. 

Pertarungan tangan kosong
Pecah di lautan api.

Musuh tidak akan melupakan hari pertarungan berdarah itu,
Mengutuk bayonet Rusia kami.

Pasukan Rusia sudah sampai di deretan parit Jepang. Banyak yang menjatuhkan senjatanya dan bertarung dengan tangan yang benar-benar kosong, ada juga pun yang melawan senapan dengan katana, senapan dengan senapan, atau lebih kacaunya lagi, senapan atau katana versus tangan kosong. 

Viktor bertarung senapan dengan senapan bagaikan bermain pedang dengan bajak laut, sedangkan Igor malah mengambil katana prajurit Jepang yang terbunuh dan menebas-nebas prajurit-prajurit Jepang dengan keras dan tanpa ampun. Suara tulang patah kerap terdengar disertai dengan suara tembakan, dan suara orkestra dari band resimen bersisa satu yang sangat kecil. 

Waltz Vienna takkan dimainkan,
Oleh band resimen di taman,
Pemain terompet dan pemain tanduk Perancis muda
Beristirahat di atas perbukitan.

Sudah beberapa waktu berlalu, resimen Rusia terkepung oleh resimen Jepang, dan Jepang tak henti-hentinya menyerang prajurit-prajurit Rusia itu. Komandan resimen memerintahkan orkestra resimen untuk tetap memainkan musik, dan menambahkan anggota orkestra yang tersisa ke band resimen yang tadinya tersisa satu itu.

"Orkestra, mainkan pawai!"

Orkestra resimen pun berbuat demikian. Alunan musik yang dimainkan pun membangkitkan semangat para prajurit Rusia untuk terbebas dari kepungan Jepang. 

Musik pawai pertempuran ditemani oleh suara rusuh tembakan, teriakan, dan ledakan; prajurit Rusia menyerang resimen Jepang habis-habisan, didorong oleh semangat membara dari musik. 

Namun beberapa waktu kemudian, musik orkestra menjadi makin sunyi, hampir kalah dengan suara dalam pertempuran. Dari banyaknya pemusik orkestra tersebut, hanya tersisa sedikit yang selamat, kurang dari sepuluh orang.

Mikhail tidak terhitung dalam kurang dari sepuluh orang itu.

Rasa pahit kehilangan
Meremas dada dengan pedih,

Bayangan para pahlawan yang jatuh dan berputar
Waltz-nya menebar kesedihan.

Resimen Rusia berhasil mendobrak kepungan Jepang, dengan jauh sedikit orang yang tersisa. Perut Igor tertembak, namun ia masih berusaha untuk berjuang. Sedangkan lengan kanan Viktor sudah babak belur, tulangnya retak, darah tidak berhenti bercucur dari luka-lukanya. 

Viktor melihat ke sekelilingnya. Perbukitan indah Manchuria yang semula putih salju telah dihias oleh darah dan ratusan mayat-mayat yang tergeletak di sana-sini. 

Viktor syok sekali, ia tidak menyangka pertempuran kali ini akan memakan nyawa sebanyak itu; karena pertempuran-pertempuran sebelumnya tidak separah ini. Hatinya seakan ditusuk oleh pisau yang besar dan tajam. 

Kamerad-kamerad seperjuangannya yang selama ini menghabiskan waktu dengannya, kamerad-kamerad tersayangnya, banyak yang telah hilang nyawanya diambil maut. 

Viktor menggelengkan kepalanya, dan ia kembali ke dunia nyata. Ia harus menerima fakta bahwa ia harus meninggalkan kawan-kawannya di belakang dan terus bertempur untuk kemenangan Rusia. Ia berusaha sekuat mungkin untuk menahan air mata dan tidak terjauh dan menangis. Ia mengucapkan doa yang cepat, dan dengan pelan mengucapkan selamat tinggal kepada prajurit resimen yang terjatuh, terlebih ke sahabat-sahabat pemain musiknya, Alexei dan Mikhail. Ia diseret Igor yang berlari untuk melanjutkan pertempuran.

Tertidurlah, kalian para pejuang
Kemenangan abadi adalah milikmu-

Sebuah kuil dengan kemuliaan yang abadi
Telah terangkat ke surga.

Pertempuran berlanjut hingga esok hari. Pagi itu, matahari bersinar terang. Burung-burung pun berterbangan dan berkicau. 

DOR! DOR! DOR!
"BANZAAAAAIIII!!!!"
"URAAAAA!!!!"

Viktor dan Igor berlari bersama, menghindari mayat-mayat yang tergeletak di tanah, sesekali tersandung. Viktor yang hampir menyerah terus diseret-seret oleh Igor yang berlari ke arah parit Jepang.

"Astaga, Viktor! Cepatlah! Kita sudah mau sampai!" Teriak Igor sedikit kesal dengan sikap Viktor. Semangat membara Viktor telah padam saat ia melihat banyaknya mayat yang tergeletak kemarin setelah mereka mendobrak kepungan resimen Jepang. Ia melirik gelang pemberian Akari yang telah ternoda oleh darah, dan hal kecil itu menambah semangatnya lagi. 'Setelah konflik ini berakhir, aku akan bertemu Akari,' pikirnya.

Sambil berlari, Viktor mengisi amunisinya, dan menembak-nembak prajurit Jepang yang lewat, seringkali menghindari tembakan mereka juga. Sebuah peluru meleset ke bahu Viktor, tetapi ia tidak memperdulikannya. 

Tak lama kemudian, mereka pun sampai di parit bersama dengan prajurit lainnya, lalu mereka bertarung lagi, membunuh-bunuh prajurit Jepang tanpa ampun, dengan cara apapun yang cepat.

Dan bukanlah salib yang berdiri di atas bukit,
Dan bukanlah granit yang melindungi kedamaianmu,

Viktor dan Igor yang tidak pernah berpisah pun tiba-tiba berhadapan dengan seseorang yang mereka kenal. Seseorang yang mereka tak sangka akan berada di depan mereka. Viktor yang tadinya akan menembaknya pun malah dengan pelan menurunkan senapannya, dan orang itu juga menurunkan katananya. Rasa tidak percaya meliputi mereka, dan ketiga orang itu diam saja, tidak ada yang melakukan gerakan untuk menyerang.

"A... Akihiko?" Ucap Viktor tidak percaya saat ia memandang orang yang familiar itu.

"Vi-Viktor? Igor? K-kalian..."

"Akihiko, aku tidak menyangka-"

"Hei, kalian..." Prajurit Jepang itu menurunkan katanya, suaranya bergetar, "Lama tidak bertemu."

"Apa.. apakah ini berarti kami harus membunuhmu?" Tanya Igor sedih, matanya menangkap sesosok orang yang berlari di belakang Akihiko, membawa bendera Jepang.

"H-hei... Hei, Viktor... apakah kamu p-"

DOR! DOR!

Mata Akihiko membesar saat ia melihat tubuh kedua teman-musuhnya itu terjatuh ke tanah, dengan genangan darah yang membesar. Akihiko spontan menengok ke belakangnya, dan melihat rekannya memegang senapan yang masih terarah ke tubuh Viktor dan Igor. 

Wajah prajurit itu yang semula penuh dengan kebencian, perlahan berubah menjadi syok, saat ia melihat siapa yang ia bunuh. Ia menjatuhkan senapannya, dan menjatuhkan diri, berlutut lemas.

Akihiko pun seakan dirasuki oleh roh kemarahan, dan ia mengamuk.

"HYOUSUKEEEE!!!!!" Teriaknya dengan penuh amarah, berlari ke arah rekannya itu.

GEDUBRAK!

Tentang pertempuran dan rekan seperjuangan yang jatuh
Ini adalah Waltz Manchuria, yang bersuara di dalam hati.

+++

Isi jurnal itu membuat kedua gadis SMA itu tercengang. Mereka tidak mengekspektasikan akan ada cerita sekeras itu didalamnya. Tulisan yang awalnya berhuruf Sirilik pun malah berubah menjadi huruf kanji. 

"Rusia kalah, kami menang. Konflik internal mereka memberikan kesempatan yang bagus untuk Jepang. Aku kagum sendiri jika mengingat Jepang yang terlihat lebih lemah bisa menang. Kapan lagi negara Asia yang belum terlalu canggih ini memenangkan peperangan dengan negara Eropa?

Igor, Viktor, Alexei, dan Mikhail meninggal dalam perang. Akupun berhasil mendapatkan jurnal Viktor yang sepertinya ia cintai sekali, dan melanjutkan tulisannya. Hyousuke selamat, aku tidak membunuhnya, namun aku tidak pernah berbicara lagi dengannya setelah ia membunuh Viktor dan Igor. Karena ulahnya, aku belum selesai menanyakan pertanyaanku yang mau kutanyakan saat aku di Jepang dan menunggu bertemu dengan Viktor. Alhasil, pertanyaanku tidak terjawab. Pertanyaanku sebenarnya sudah terjawab di jurnal ini sendiri, namun aku ingin dengar dari mulut Viktor sendiri. Aku harap Viktor akan menemukan jurnal ini dan menjawab pertanyaanku suatu saat, karena ada hal lain yang ingin kutanyakan. -Nakamura Akihiko, Maret 1905"

"Kamu ngerasa aneh, gak?" Ichika bertanya, saat sebuah pikiran melintasi otaknya.

"Aneh gimana?"

"Viktor itu namanya sama kayak ayah kamu, marganya sama pula. Si Akihiko ini juga sama. Ayahku 'kan Akihiko. Margaku 'kan Nakamura. Nah loh!"

"Mungkin cuma kebetulan. Aku sih merasa lebih aneh sama kalimat ini," kata Ekaterina, menunjuk ke kalimat terakhir Akihiko. "Kan Viktor udah meninggal, gimana bisa ketemu jurnalnya?"

Ichika mengambil post-it note list waltz tersebut. "Menurut kamu, ini Akihiko yang nulis, bukan?" Tanya Ichika, memperlihatkan huruf kanji di belakang post-it note.

"Mungkin aja, tapi timeline-nya nggak cocok... Masa Akihiko hidup sampai ratusan tahun?"

Keduanya bengong sesaat, merenungi cerita dan kata-kata dari Akihiko. Lamunan mereka dipecahkan oleh suara ibu Ekaterina dari luar ruangan.

"Katya, Ichika! Ayo sini, kalian dipanggil Ayah!"

"Iya, Ma!"

Ekaterina dan Ichika bergegas keluar ruangan, ke ruang tamu, Ekaterina masih memegang jurnal yang mereka temukan tadi. Di ruangan itu, ada ibu Ekaterina, ayah Ekaterina, ayah Ichika, tiga pria, dan satu wanita. Mata Ekaterina langsung menangkap gelang tali unik yang dipakai wanita tersebut.

"Katya, Ichika, ayo kenalan dulu sama Om-Om dan Tante, rekan kerja Ayah yang datang dari Rusia. Saya ambil teh dulu, ya." Kata ibu Ekaterina dengan manis, berjalan pergi dari ruangan tersebut.

Ekaterina dan Ichika duduk di seberang pria-pria tersebut, di samping wanita itu. 

"Kenalin, ini anak saya Ekaterina, dipanggil Katya di rumah. Ini temannya, anaknya Akihiko, namanya Ichika." Kata ayah Ekaterina dengan ramah. Kedua gadis itu pun bersalaman dengan pria-pria paruh baya berbaju sopan tersebut.

"Halo, saya Igor."

"Aku Alexei."

"Mikhail."

"Hyousuke desu."

Ekaterina dan Ichika langsung saling bertatapan dengan pandangan yang aneh. Rasanya seperti ada sesuatu yang menggelitik di perut mereka. Jangan bilang...

"Halo, aku Akari." Senyum wanita cantik itu dengan manis dan ramah, tangannya yang langsing menyalami mereka. 

Nah, kan! Ekaterina dan Ichika langsung merasa keringat dingin bercucuran sedikit. Aneh, ini terlalu aneh... Apa yang sebenarnya terjadi? Mengapa nama mereka sama semua seperti di jurnal? Ada hubungan misterius apa? Pasti ini hanya kebetulan, kan?

Pria berjas hitam yang mengenalkan dirinya sebagai Akihiko menaruh smartphone-nya di meja, dan melihat jurnal yang dipegang gadis Rusia tersebut. Ia tersenyum. "Ah, rupanya kamu ketemu jurnal itu... Walaupun sudah ratusan tahun, saya masih ingat. Bagaimana, Viktor? Sudah tahu penyebab mengapa lagu 'On the Hills of Manchuria' membuatmu sedih?"

Viktor memandang Akihiko dengan tatapan aneh. "Bagaimana Anda tahu lagu itu membuat saya sedih? Saya tidak pernah bilang."

Akihiko hanya tertawa kecil. "Ah, Viktor. Pertanyaan saya yang belum terjawab sudah terjawab, rupanya. Kita semua bertemu lagi."

Ichika memandang ayahnya dengan bingung. Ia bicara apa, sih? Jangan memalukan, deh! 

"Pertanyaan saya yang sudah terjawab, belum terjawab karena insiden waktu itu."

"Insiden apa?" Tanya Viktor bingung. Ia tidak mengingat insiden apapun yang ia alami dengan rekan bisnisnya itu.

"Viktor, apakah Anda betul-betul percaya pada reinkarnasi?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun