Mohon tunggu...
Kareina Azzahra
Kareina Azzahra Mohon Tunggu... 24107030012

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Bekerja Bisa di Mana Saja, Tapi Masih Terjebak di jam 9-5?

30 Mei 2025   14:53 Diperbarui: 30 Mei 2025   15:23 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Ilustrasi Waktu Kerja yang Berlebih (Sumber: Gpt)

Di tengah kemajuan teknologi dan maraknya budaya kerja fleksibel, narasi bahwa "bekerja bisa di mana saja" terdengar seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Dengan hanya bermodal laptop dan koneksi internet, kini para pekerja tidak lagi dibatasi oleh sekat-sekat fisik kantor. Namun, ironisnya, walaupun lokasi kerja menjadi fleksibel, banyak dari kita --- terutama generasi milenial dan Gen Z --- masih terjebak dalam kerangka waktu kerja kuno: jam 9 pagi hingga 5 sore. Lebih menyedihkannya lagi, keterikatan ini bukan hanya soal waktu, tetapi juga tentang tekanan kerja yang semakin tinggi, ekspektasi terus-menerus untuk "selalu online", dan gejala burnout yang tak kunjung reda.

Kebebasan Palsu dalam Dunia Kerja Modern
Era digital menjanjikan fleksibilitas: kerja dari rumah, kerja dari caf, bahkan dari tempat wisata sekalipun. Namun dalam praktiknya, banyak perusahaan hanya memindahkan meja kerja dari kantor ke rumah tanpa mengubah paradigma dasar kerja itu sendiri. Sistem kerja 9-5 tetap diberlakukan secara kaku, bahkan kadang diperparah dengan jam kerja yang lebih panjang karena tidak adanya batasan fisik antara ruang kerja dan ruang pribadi.

Alih-alih merdeka, para pekerja kini merasa diawasi secara digital. Aplikasi pemantau kehadiran, deadline yang tak kenal waktu, dan budaya balas email secepat kilat membuat banyak dari kita terus terjaga --- bukan untuk hidup, tapi untuk bekerja. Kerja fleksibel menjadi jargon kosong jika tetap dibelenggu oleh ekspektasi kerja konvensional.

Generasi milenial dan Gen Z tumbuh dalam era teknologi dan perubahan sosial yang cepat. Mereka dikenal sebagai generasi yang adaptif, kreatif, dan haus akan makna dalam pekerjaan. Namun sayangnya, banyak dari mereka justru menjadi korban dari sistem kerja yang tidak mampu bertransformasi secara utuh.

Kedua generasi ini menghadapi tekanan kerja yang luar biasa: beban kerja yang tinggi, ketidakpastian ekonomi, dan ekspektasi untuk terus berkembang. Media sosial juga berperan memperparah keadaan, karena membandingkan kesuksesan orang lain terasa begitu mudah dan instan. Akibatnya, banyak dari mereka mengalami kelelahan mental, cemas akan masa depan, dan kehilangan gairah dalam hidup.

Fenomena ini dikenal sebagai burnout, yaitu kondisi kelelahan emosional, mental, dan fisik akibat stres berkepanjangan. Data dari World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa burnout adalah masalah kesehatan global, dan pekerja muda menjadi kelompok yang paling rentan mengalaminya.

Salah satu penyebab utama burnout adalah budaya hustle yang begitu diagung-agungkan, terutama di kalangan muda. "Kerja keras pasti berhasil" menjadi mantra yang sering diulang. Namun jarang dibahas bahwa kerja keras tanpa istirahat hanya akan membawa kita pada kelelahan dan kehilangan arah.

Budaya ini juga menormalisasi kerja lembur, mengaburkan batas antara waktu kerja dan waktu pribadi, dan bahkan menjadikan kelelahan sebagai simbol dedikasi. Orang yang mengeluh dianggap lemah, sementara yang bekerja tanpa henti dipuji sebagai "ambisius" atau "berkomitmen".

Padahal, produktivitas bukanlah soal seberapa lama kita bekerja, melainkan bagaimana kita bisa bekerja dengan efisien tanpa mengorbankan kesehatan mental dan kualitas hidup. Dalam jangka panjang, sistem kerja yang tidak manusiawi justru akan menurunkan produktivitas itu sendiri.

Sudah saatnya kita merefleksikan ulang sistem kerja yang kita anut saat ini. Apakah benar bekerja selama delapan jam penuh setiap hari masih relevan di era digital? Apakah kinerja seorang pekerja harus selalu diukur dari waktu kehadiran, bukan dari hasil kerja?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun