Mohon tunggu...
Kanopi FEBUI
Kanopi FEBUI Mohon Tunggu... Jurnalis - Himpunan Mahasiswa Ilmu Ekonomi FEB UI

Kanopi FEBUI adalah organisasi yang mengkhususkan diri pada kajian, diskusi, serta penelitian, dan mengambil topik pada permasalahan ekonomi dan sosial di Indonesia secara makro. Selain itu, Kanopi FEBUI juga memiliki fungsi sebagai himpunan mahasiswa untuk mahasiswa program studi S1 Ilmu Ekonomi dimana seluruh mahasiswa ilmu ekonomi merupakan anggota Kanopi FEBUI.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Revisi UU Ketenagakerjaan, Rekonstruksi Menuju Fleksibilitas

23 Agustus 2019   19:12 Diperbarui: 12 Oktober 2019   11:08 2094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pekerja. (thikstockphotos)

Realisasi hak akan lingkungan kerja yang paripurna seakan menjadi kepastian bagi satu pihak, namun hanya menjadi angan-angan fana bagi yang lain. 

Sebagai kontributor fundamental dalam roda perekonomian Indonesia, sungguh ironis bahwa tenaga kerja seolah tidak diprioritaskan dalam perumusan perundang-undangan maupun restrukturisasi konstitusional terhadap landasan yang sudah ada. 

Meski bukan merupakan isu anyar, pencanangan revisi UU No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ini kembali membuat kaum buruh mempertimbangkan ulang keberadaan mereka di skala prioritas kebijakan konstitusional.

Bocornya usulan revisi UU tersebut yang diajukan oleh Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menimbulkan kontroversi dengan perbedaan opini sebagai pemantiknya. 

Terdapat enam isu yang digodok oleh pihak Apindo dan Menaker perihal UU Ketenagakerjaan, yaitu: pengupahan, pesangon, outsourcing, fleksibilitas jam kerja, serikat pekerja-buruh, dan tenaga kerja asing. Di antara enam isu tersebut, terdapat tiga isu yang dianggap kontroversial oleh kaum buruh, yaitu perihal upah, pesangon, dan kontrak kerja. 

Respon vokal merupakan sebuah metode yang kerap digunakan oleh kaum buruh untuk menanggapi isu kontroversial dan masif, seperti yang ditunjukkan di berbagai wilayah ibu pertiwi dalam jangka waktu yang berdekatan. 

Gerakan akbar terjadi di ibu kota sebagai pengejawantahan amarah buruh yang dipimpin oleh perwakilan Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia dan melibatkan kurang lebih 5000 kaum buruh pada hari Jumat, 16 Agustus silam. 

Manifestasi kekecewaan yang sama pun terjadi di Bandung tepatnya tepat di depan ikon yang dibanggakan, Gedung Sate, pada Kamis, 22 Agustus silam.

Meskipun dihujat dan dicerca oleh kaum buruh, tentu Apindo dan pemerintah memiliki rasionalisasi tersendiri atas rekonstruksi terhadap wujud ketenagakerjaan di Indonesia. Entitas konstitusional masif ini ternyata merupakan penentu lancar tidaknya potongan fundamental perekonomian yang sudah lama medioker -- investasi.

Fleksibilitas Entitas Hukum Katalis Pertumbuhan

Kanebo kering. Perundang-undangan Indonesia terkait ketenagakerjaan kerap diasosiasikan dengan objek tersebut akibat sifatnya yang "kaku" dan jauh dari kata fleksibel. Fleksibilitas dalam peraturan ketenagakerjaan sendiri merupakan karakteristik yang esensial demi menunjang kelancaran investasi. 

Karakteristik tersebut memberikan kemudahan bagi pengusaha untuk melakukan pergantian tenaga kerja melalui pemberhentian dan perekrutan. Tiga faktor fundamental yang telah diulas sebelumnya merupakan tiga duri berarti yang menusuk fleksibilitas ketenagakerjaan Indonesia.

Pertama, pemberian pesangon dinilai terlalu murah hati oleh para pengusaha. Berdasarkan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 pasal 156 ayat 2, pesangon bagi pekerja yang di-PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) dapat mendapatkan 9 sampai dengan 18 bulan gaji bekerja sesuai dengan masa kerjanya. 

Penghitungan pesangon tersebut bahkan masih belum menghitung uang penghargaan yang jumlahnya signifikan pula. Pemberian kompensasi dalam bentuk pesangon tersebut dinilai meningkatkan cost of labor sehingga menyulitkan untuk melakukan investasi baik secara lokal maupun internasional di sektor industri padat karya.

Kedua, Apindo telah mengajukan usulan untuk memperpanjang masa kerja buruh kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, PKWT) sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 59 yang sebelumnya berjangka waktu 3 tahun menjadi 5 tahun. 

Usulan revisi ini bermaksud untuk melakukan rekonstruksi terhadap ketenagakerjaan Indonesia dalam sektor jenis pekerja yang diperbanyak. 

Dengan diperpanjangnya masa kontrak PKWT, jumlah pekerja kontrak sendiri akan melebihi pekerja permanen. Pekerja kontrak tersebut bersifat lebih fleksibel berkat sifatnya yang tidak memerlukan pengusaha untuk membayar pesangon sekiranya mereka akan di PHK. 

Selain itu, proses PHK bagi pekerja PKWT ternilai lebih mudah berkat ketentuan hukum yang mengatakan bahwa PHK terhadap pekerja PKWT tidak perlu melewati LPPHI (Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial).

Ketiga, penentuan pengupahan pun dinilai masih terlalu rumit oleh pengusaha. Sistem penetuan UMP yang bersifat tripartit yang melibatkan pihak serikat buruh, pengusaha serta pemerintah dilihat tidak perlu dan tidak ideal akibat pemerintah daerah dinilai tidak memiliki pengetahuan dan informasi sempurna perihal kondisi perekonomian setiap perusahaan (Azzam 2019). 

Sistem penentuan UMP bipartit yang tidak melibatkan pemerintah diusung sebagai solusi dari komplikasi pengupahan dengan konsiderasi UMKM yang tidak memiliki kemampuan finansial untuk membayar upah minimum yang setara dengan institusi besar.

Intisari dari kecemasan yang menjelma menjadi urgensi untuk merevisi UU Ketenagakerjaan terletak pada kurangnya investasi pada sektor padat karya. Seperti yang telah diulas sebelumnya, permasalahan ini timbul akibat terlalu tingginya cost of labor sehingga perusahaan enggan untuk melakukan investasi di sektor tersebut. 

Tingginya cost of labor juga mempengaruhi penyerapan tenaga kerja sektor formal secara signifikan. Kucuran dana dari mancanegara dalam bentuk foreign direct investment (FDI) pun terhambat akibat perundang-undangan ketenagakerjaan yang terlalu kaku.

Isu ini sangat disayangkan karena FDI merupakan kucuran dana yang dampaknya akan dapat dicicipi secara jangka panjang dibandingkan investasi di sektor keuangan seperti yang kerap dilakukan investor asing kepada Indonesia. 

Selain itu, FDI yang meningkatkan neraca modal dapat mendanai defisit transaksi berjalan (CAD) dengan cara yang lebih berkesinambungan sebab tidak mudah "lari" ke luar negeri layaknya investasi portofolio. 

Kakunya peraturan perihal ketenagakerjaan menyebabkan penyedia pekerjaan formal enggan untuk membuka lapangan kerja anyar akibat biaya perusahaan yang meningkat. 

Ini sangat disayangkan oleh pemerintah, sebab tenaga kerja sektor formal yang akan berkontribusi secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Revisi perundang-undangan ketenagakerjaan dinilai dapat menjadi salah satu solusi demi mengentaskan problematika middle income trap.

ilustrasi: KajiPOST
ilustrasi: KajiPOST
Analisis Implementasi Kemerdekaan

Mobilisasi ketenagakerjaan menuju pengaturan yang lebih fleksibel, walau merupakan pengalaman baru bagi pekerja Indonesia, sudah merupakan norma dan sesuatu yang lazim bagi hampir seluruh perekonomian besar di ASEAN. 

Terdapat dua elemen esensial dalam usulan revisi perundang-undangan ketenagakerjaan yang merupakan faktor pembeda Indonesia dari negara-negara ASEAN lainnya, yaitu sistem kontrak kerja dan penghitungan pesangon. Dapat dikatakan bahwa asosiasi 'kanebo kering' terhadap pengaturan ketenagakerjaan di Indonesia akurat apabila dikomparasi dengan negara ASEAN lain.

Indonesia sangatlah murah hati dalam memberikan pesangon sebagai kompensasi pemberhentian kerja dalam jumlah yang kolosal. Seorang pekerja yang memiliki masa kerja 10 tahun secara hukum berhak untuk meraup pesangon sampai sebesar 36 bulan gaji (setelah menghitung Peraturan Menteri Tenaga Kerja). 

Jika dibandingkan dengan Indonesia, mekanisme penghitungan dan pembagian uang pesangon negara ASEAN lain relatif kikir. Alasan PHK menjadi konsiderasi dalam menentukan jumlah pesangon yang didapat oleh pekerja di negara gajah putih. 

Untuk PHK pada umumnya yang terpapar dalam Thai Labor Protection Act, pesangon yang wajib diberikan dimulai dari sebesar gaji 30 hari kerja untuk pekerja yang mengabdi di bawah satu tahun sampai sebanyak gaji 300 hari kerja untuk pekerja yang sudah mengabdi selama lebih dari sepuluh tahun. 

Namun, metodologi penghitungan tersebut berbeda apabila karyawan di PHK akibat pengenalan teknologi baru dan pekerja tersebut telah mengabdi selama lebih dari enam tahun, maka jumlah pesangon tambahan yang wajib dibayarkan pengusaha sebesar maksimal 360 hari gaji.

Mekanisme penghitungan pesangon yang diaplikasikan oleh Singapura sangatlah berbeda dari yang lain karena mereka melepas kebijakan tersebut sepenuhnya kepada pasar ketenagakerjaan. 

Apabila dalam kontrak pekerja tidak secara eksplisit terdapat kesepakatan akan adanya pesangon yang harus diberikan, maka perusahaan tidak perlu membayar pesangon sepeser pun kepada karyawan yang telah di PHK.

Konsep keterikatan karyawan terhadap kontrak pekerja di Indonesia dinilai tidak kalah kaku. Sebagaimana diatur dalam UU No. 13 Tahun 2003 pasal 56, kontrak kerja di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua jenis, kontrak waktu tertentu dan kontrak waktu tidak tertentu. 

Kontrak waktu tidak tertentu merupakan kontrak waktu tetap yang tidak memiliki batas waktu kehabisan dan lebih terproteksi dari ancaman PHK karena PHK harus melalui LPPHI sebelum dapat disetujui. Lain halnya dengan kontrak waktu tertentu (KWT) yang hanya memiliki batas kontrak 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang untuk 1 tahun sebanyak 1 kali. 

Sesuai dengan UU yang sama pada pasal 59, KWT hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang cenderung bersifat sementara, musiman, atau menggunakan produk baru. Namun, usulan revisi UU No. 13 Tahun 2003 mencanangkan untuk meningkatkan masa KWT dari 2 tahun menjadi 5 tahun.

Apabila ditelisik secara komparatif dengan negara lain, walau upaya tersebut merupakan satu langkah menuju fleksibilitas, Indonesia masih jauh dari ungkapan 'kanebo basah'. Ketentuan pembatasan jumlah pembaharuan kontrak sebanyak satu kali di Indonesia merupakan manifestasi dari kekakuan tersebut. 

Pembaharuan kontrak sebanyak 2 kali atau lebih telah dilakukan oleh 19 dari 26 negara anggota OECD (OECD, 2000). Pembatasan durasi kontrak pun merupakan suatu kejanggalan apabila dibandingkan dengan negara yang tercakup dalam OECD karena terbukti bahwa hanya 5 dari 26 negara membatasi durasi kontrak.

Kelenturan Sebagai Pemantik Perkembangan

Terdapat relevansi yang signifikan antara keketatan dan kekakuan peraturan ketenagakerjaan dengan kesejahteraan serta kondisi perekonomian suatu negara. Kekakuan perundang-undangan ketenagakerjaan berhubungan negatif dengan alur pasar tenaga kerja dan melalui kanal ini, menghambat pertumbuhan produktivitas (Martin et al, 2012). 

Selain itu, keketatan peraturan ketenagakerjaan juga berhubungan negatif dengan kemampuan ekspor suatu negara. Walau memiliki kompetensi produksi yang sama, suatu negara dapat unggul (competitive advantage) dari negara pesaing apabila perundang-undangan ketenagakerjaannya lebih fleksibel (Cunat et al. 2011). (sumber)

Melalui penelitian matematis, Laura Muller menggunakan metode regresi kepada negara anggota OECD pada tahun 2008 dan 2009 untuk membuktikan bahwa ketatnya perundang-undangan ketenagakerjaan membawa dampak negatif kepada beberapa aspek fundamental dalam perekonomian. 

Dalam penelitian ini, ketatnya peraturan ketenagakerjaan dilambangkan dengan Employment Protection Legislation (EPL) dan indikator perekonomian sendiri didikotomikan menjadi beberapa bagian (PDB, pemasukan FDI, dll). 

Hasil regresi beliau menunjukkan hubungan signifikan negatif antara indeks EPL dan PDB. Laura juga membuktikan adanya hubungan negatif yang signifikan antara indeks EPL dengan pemasukan FDI. Hasil regresi mengatakan bahwa setiap peningkatan sebesar 1 unit pada indeks EPL pada 2009, pemasukan FDI suatu negara mengalami penurunan sebesar 17 juta dolar AS.

Hasil yang didapatkan dari penelitian tersebut menyatakan bahwa dengan berkurangnya keketatan pengaturan ketenagakerjaan suatu negara, pemasukan dari sektor FDI meningkat, angka pengangguran berkurang, dan secara keseluruhan perekonomian negara membaik. 

Terdapat bukti empiris, aktual yang memperkuat studi tersebut yaitu melalui analisis tingkat daya saing ekonomi negara ASEAN. Indonesia masih berada pada peringkat ke-32, sementara dua negara tetangga lainnya, yaitu, Singapura dan Malaysia, berada di peringkat 1 dan 22 menurut IMD. 

Thailand pun masih berada di atas Indonesia pada peringkat 25, meninggalkan Filipina yang berada di peringkat 46. Hasil peringkat tersebut mendukung studi dan spekulasi pemerintah yang mengatakan bahwa seiring dengan terkikisnya keketatan perundang-undangan ketenagakerjaan, perekonomian Indonesia akan membaik.

Signifikansi Konsiliasi

Restrukturisasi instrumen konstitusional yang mengatur tatanan ketenagakerjaan ini telah menjadi pekerjaan rumah Indonesia untuk cukup lama sekarang; 22 kali. Itulah banyaknya percobaan judicial review butiran hukum bermakna ini yang sudah cukup mencerminkan opini rakyat perihal UU No. 13 Tahun 2003. 

Usulan revisi yang telah digodok dan dicanangkan dengan rasionalisasi ekonomis oleh Apindo tentu bermaksud baik dan secara teoritis telah terbukti akan menyokong menjulangnya perekonomian ibu pertiwi sebagai negara berkembang. 

Namun, hendaknya jangan dilupakan pula akan tangisan buruh yang masih belum dapat mencicipi keadilan sebagaimana diatur oleh hukum, mereka yang masih mencoba untuk bertahan hidup dengan upah minimum di bawah batas minimal yang ditentukan.

Mereka yang tenaga dan keringatnya dieksploitasi untuk jam kerja yang jauh melampaui dari yang ditetapkan, serta mereka yang belum mendapatkan kejelasan atas eksploitasi dan pemecatan massal. Menatap jauh ke cakrawala angan-angan memang indah, namun jangan lupa benahi problematika depan mata---buruh yang resah.

Oleh Muhammad Faisal Harits | Ilmu Ekonomi 2018 | Staff Divisi Kajian Kanopi FEB UI 2019 

Referensi tanpa hyperlink:

  1. Muller, L. (2013). The Impact of a Country's Employment Protection Legislation on its Economic Prosperity. International Journal of Humanities and Social Science.
  2. Indonesia, Undang-Undang Ketenagakerjaan, UU No. 13 Tahun 2003, LN No. 39 Tahun 2014, TLN No. 4279.
  3. (2018, November 16). Termination of Employees in ASEAN.
  4. (2019, March 22). Labor Contracts in ASEAN.
  5. Asher, M. G. (2003). Severance Pay in Selected Asian Countries: A Survey.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun