Ketika seseorang kehilangan pekerjaan, sikap biasa adalah merasa kecewa atau menyalahkan nasib. Namun dengan pandangan "Ja Sagen" dan "Amor Fati", ia menerima peristiwa itu sebagai bagian dari perjalanan hidup yang harus dicintai dan dijadikan pelajaran untuk bangkit. Sikap ini menegaskan semangat hidup dan mendorong kreativitas meski dalam penderitaan. Secara keseluruhan, konsep "The Will to Power", "Ja Sagen", dan "Amor Fati" mengajarkan bahwa hidup harus diterima sepenuhnya, setiap pengalaman memiliki makna, dan mencintai takdir berarti menjadi kuat, bebas, serta autentik.
William James adalah filsuf dan psikolog Amerika yang mengajarkan bahwa keyakinan memiliki kekuatan untuk membentuk kenyataan. Ia menyebut gagasannya sebagai ledakan epistemologis, yaitu pandangan bahwa iman bisa mendahului bukti dan bahwa keyakinan dapat menciptakan fakta. Berbeda dengan para filsuf Stoik dan Nietzsche yang menekankan kebijaksanaan dalam menerima dunia, William James menekankan keberanian untuk menciptakan dunia melalui kepercayaan dan tindakan. Baginya, manusia tidak hanya menerima atau mencintai takdir, tetapi mampu menciptakan takdirnya sendiri dengan keyakinan yang kuat.
William James mengajarkan keberanian untuk percaya sebelum ada bukti. Dalam dunia yang menuntut kepastian untuk setiap keyakinan, ia menegaskan bahwa kepercayaan mampu menciptakan kenyataan. Bagi James, pikiran bukan sekadar cermin yang memantulkan dunia, tetapi kuas yang melukisnya. Ia menolak pandangan pasrah terhadap takdir dan menegaskan bahwa manusia dapat menciptakan realitasnya sendiri melalui keyakinan. Berbeda dengan Stoikisme yang menerima takdir dan Nietzsche yang mengajarkan untuk mencintainya, James melangkah lebih jauh dengan menyatakan bahwa takdir bisa diciptakan. Inti pemikirannya, seperti dalam karyanya The Will to Believe, adalah bahwa keyakinan bukan hasil dari kebenaran, melainkan sumber dari kebenaran itu sendiri. Dunia berubah bukan karena kita menunggu bukti, tetapi karena kita berani bertindak tanpa kepastian. Kita tidak hidup dengan menunggu bukti --- kita hidup dengan menciptakan bukti.
William James mengajarkan bahwa hidup bukan hanya tentang menerima atau mencintai kenyataan, tetapi menciptakan makna baru melalui keyakinan yang tulus. Ia menolak pasrah pada nasib dan menekankan keberanian untuk percaya bahkan sebelum ada bukti. Bagi James, keajaiban tidak datang dari luar, tetapi lahir dari keyakinan yang membangun kenyataan dari dalam diri.
Tabel tersebut menunjukkan perbedaan pandangan antara Stoikisme, Nietzsche, dan William James. Stoikisme menekankan penerimaan terhadap kenyataan dan pengendalian diri, dengan fokus pada ketenangan batin. Nietzsche melalui konsep Amor Fati mengajarkan untuk mencintai kenyataan apa adanya dan berani berkata "ya" pada kehidupan, bahkan dalam penderitaan. Sementara itu, William James melangkah lebih jauh dengan menegaskan bahwa keyakinan dapat membentuk kenyataan. Ia melihat dunia sebagai sesuatu yang bisa diubah melalui pikiran dan tindakan kreatif. Jika Stoik dan Nietzsche mengajarkan penerimaan terhadap dunia yang ada, James justru menekankan keberanian untuk percaya dan menciptakan dunia yang belum ada.
William James menekankan bahwa keyakinan memiliki kekuatan nyata dalam membentuk kenyataan. Misalnya, dua orang dengan penyakit yang sama dapat mengalami hasil berbeda tergantung pada kepercayaannya. Orang yang yakin bisa sembuh cenderung memiliki hasil lebih baik karena keyakinan memengaruhi perilaku, keputusan, bahkan proses biologis. Bagi James, kepercayaan bukan akibat dari kesembuhan, melainkan bagian dari prosesnya. Ia menolak sikap pasrah dan mendorong manusia untuk mengubah kemungkinan menjadi kenyataan melalui kekuatan keyakinan. Menurutnya, hidup tidak menjadi baik baru kita percaya, tetapi kita harus percaya dulu barulah hidup mulai menjadi baik.