Mohon tunggu...
teteh_chatay_pasific
teteh_chatay_pasific Mohon Tunggu... kerja di Chatay Pasific aja...

------

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Widi... Yee

15 September 2025   15:21 Diperbarui: 15 September 2025   15:21 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Widi dan Kotak Kenangan di Klungkung"


Hujan sore itu terasa sama dinginnya dengan hatiku. Di depan rumah, mobil bak terbuka sudah menunggu, isinya tumpukan kardus berisi barang-barang kami. Mama dan Papa sibuk memasukkan sisa-sisa, sementara aku hanya berdiri mematung di teras, menatap sendu gang kecil yang penuh cerita.
Namaku Widiyastuti. Tapi, teman-teman biasa memanggilku Widi. Hari ini, adalah hari terakhir aku di Denpasar. Semua ini karena Papa dimutasi kerja ke Klungkung. Kota yang entah di mana, yang aku tahu hanya jauh. Jauh dari segalanya, jauh dari dia.
"Widi, ayo, nak. Nanti kemalaman di jalan." Suara Papa membuyarkan lamunanku.
Aku mengangguk pelan, lalu mengambil satu kotak kecil yang kusembunyikan di balik tas. Kotak itu berisi kenangan kami: gelang persahabatan, foto polaroid di pinggir pantai, dan secarik kertas berisi janji yang kini terasa rapuh. Aku membukanya, mengusap foto polaroid yang sudah pudar. Aku ingat, di foto itu, senyum kami begitu cerah. Senyum yang kini kurasa tak akan pernah muncul lagi.
Sakit. Kata itu saja tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku. Patah hati, mungkin lebih tepat. Patah hati bukan karena pacar, melainkan karena sahabat. Sahabat yang sudah seperti saudaraku sendiri, yang tak pernah bisa kulepaskan.
Seharian kemarin, aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tak ada jawaban. Pesan-pesan yang kutinggalkan hanya berakhir dengan centang dua abu-abu. Ia menghilang. Ia menghilang tepat di saat aku membutuhkan pelukan dan kata-kata penenang darinya. Ia bahkan tidak membalas pesanku saat aku bilang akan pindah.
Aku tahu, kami punya janji. Janji untuk selalu bersama. Janji yang kami ucapkan sambil melihat matahari terbenam di Pantai Sanur. Janji yang kami ikat dengan gelang persahabatan di pergelangan tangan. Tapi, kini, gelang itu terasa memudar, sama seperti janji yang terlupakan.
Dalam perjalanan ke Klungkung, hanya keheningan yang mengisi. Aku menatap keluar jendela, memandangi jalanan yang mulai berganti dengan pemandangan pedesaan. Mataku berkaca-kaca. Aku mencoba menahan air mata, tapi percuma. Air mata ini sudah tak bisa kubendung lagi. Air mata ini bercerita tentang janji yang pecah, tentang perpisahan yang menyakitkan, dan tentang hatiku yang kini kosong.
Di Klungkung, semuanya terasa asing. Rumah baru, sekolah baru, dan teman-teman baru. Tapi, yang paling terasa asing adalah hatiku. Hati yang kini tak lagi penuh tawa, tak lagi penuh cerita. Hati yang kini hanya berisi kenangan, dan pertanyaan-pertanyaan yang takkan pernah terjawab.
Mungkin, suatu hari nanti, aku akan bertemu dengannya lagi. Mungkin, kami akan kembali seperti dulu. Tapi, entahlah. Yang aku tahu, kini, aku hanya ingin menyembuhkan hatiku. Menyembuhkan luka yang tak terlihat, tapi terasa begitu nyata.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun