Mohon tunggu...
Kang Kholiq
Kang Kholiq Mohon Tunggu... Freelancer - MENYUKAI KESEDERHANAAN

Menulis itu kerja keabadian _Pramoedya_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Racun Demokrasi

26 Mei 2020   20:34 Diperbarui: 26 Mei 2020   20:26 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RACUN Demokrasi. Terdengar bombastis, bahkan provokatif ya? Gabungan dua kata itu menjadi tema yang disuguhkan oleh Tim Jalu (Jagongan Pemilu). Sebuah program dialog interaktif andalan Bawaslu Kabupaten Purworejo. Program ini mulai diluncurkan akhir tahun 2018 lalu.

Biasanya on air di RSPD 88,5 Irama FM setiap hari Jumat. Namun karena musim pandemi covid-19, atas pertimbangan keselamatan, CEO Jalu Ali Yafie memutuskan model mengudara diistirahatkan dulu. Gantinya didesain program Daring melalui siaran langsung (live), memanfaatkan layanan di platform Instagram dan Youtube.

Senin, 27 April 2020. Puasa Ramadhan memasuki hari keempat. Jalu hari itu dilabeli aksesoris ngabuburit menunggu buka puasa. Bagi manusia berwatak bakul, bungkus bermotif promotif semacam itu sangat penting. Harapannya reaksi penasaran bermunculan, sehingga interaksi terasa lebih segar.

Tema yang saya sebutkan di awal itu cukup berat. Beruntung saya dipilihkan sparing partner yang sangat mumpuni. Dua anggota Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu): Iptu Bruyi Rohman Wasito SH MH (Kanit II Satreskrim Polres Purworejo) dan Zaenal Abidin SH MH (Kasi Intel Kejari Purworejo). Dua penegak hukum ini sudah teruji gerak-gesitnya saat menangani dua kasus pidana pemilu 2019 lalu.

Penyiapan perangkat dan cek sound di "studio" Bawaslu tidak sampai 10 menit selesai. Tepat pukul 16.00 WIB mikropone dibunyikan Anis Mahrus. Staf Divisi Penanganan Pelanggaran yang didaulat menjadi moderator. "Selamat sore sahabat Bawaslu. Jumpa lagi dengan Bawaslu Purworejo dalam program Jalu: Jagongan Pemilu. Cerdas Mengupas Tuntas Membahas." begitu tagline khas diucap pria yang baru awal tahun kemarin melepas masa lajangnya ini.

Dari ketiga narasumber, saya diplekhotho menyampaikan paparan pertama pemantik diskusi. Politik Uang Racun Demokrasi? Begitulah sesungguhnya tema lengkap sesuai dengan meme promosi acara yang beredar sejak sehari sebelumnya. Tanda tanya di tema itu menjadi isyarat bahwa frasa "racun demokrasi" belum menjadi ketetapan, namun diskursus yang akan diperdebatdiskusikan.

Di dalam undang-undang, baik di Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, maupun di Undang-undang Nomor 10 tahun 2016 tidak ditemukan satupun frasa yang eksplisit menyebut "politik uang". Apalagi frasa "money politic". Namun berbeda dengan perbincangan di ruang publik, money politic justru lebih kondang dibanding dengan politik uang.

Obrolan ringan, ya semacam di warung angkringan, masyarakat terkesan sudah sangat paham soal terminologi. Perbincangan soal money politic atau politik uang biasanya seputar: siapa ? dari partai apa ? dan membagikan uang berapa?. Mereka paham itu sebagai perbuatan melawan hukum. Tapi memilih permisif. Justru menganggap sebagai rejeki musiman lima tahunan.

Karena istilah saja tidak ada, maka dua undang-undang di atas juga tidak memberikan definisi secara khusus. Namun ditemukan norma yang melarang atas tindakan yang lazimnya disebut politik uang atau money politic.

Undang-undang tentang Pemilihan Umum misalnya. Norma larangan tercantum pada pasal 280 ayat (1) huruf  tentang larangan kampanye. Pelaksana kampanye dilarang menjanjikan uang atau barang untuk mempengarui pemilih. Pelanggaran atas larangan itu diancam pidana sebagaimana diatur pada pasal 521. Kedua pasal tersebut sama sekali tidak menyebut frasa politik uang maupun money politic. Namun kajian hukum tentang kedua istilah itu selalu menyandarkan pada kedua pasal tersebut.

Selanjutnya, benarkah politik uang itu racun demokrasi? Saya cenderung sepakat tanda tanya itu hilang. Bahwa politik uang itu memang racun yang mengancam demokrasi.

KBBI mendefinisikan racun  adalah zat (gas) yang dapat menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan, dihirup). 

Saya berpendapat bahwa kiasan racun sangat tepat untuk menggambarkan daya rusaknya. Sebagaimana orang yang mati keracunan, reaksi racun itu tidak bisa dilihat sesaat, tapi dampaknya sangat dahsyat.

Kita semua tahu bahwa demokrasi electoral yang diejawantahkan melalui pemilu, sesungguhnya merupakan implementasi kedaulatan rakyat. Mekanisme yang menjadi ruang bagi rakyat dalam menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Maka politik uang itu yang menjadi racun karena mengakibatkan rakyat tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan. 

Dampak paling parah, akibat politik uang, partisipasi rakyat menjadi hilang dalam penyelenggaraan negara. "Suoro wis dituku, yo wis ora iso jejaluk po meneh aspirasi meneh"

Bagaimana dengan pemilu 2019 lalu? menarik disimak hasil riset dari Indikator. Jumlah pemilih yang terlibat dalam jual beli suara dalam pemilu 2019 yang lalu berkisar antara 19,4 % hingga 33,1%. Angka ini termasuk yang tertinggi ketiga di dunia. Jika kita sepakat bahwa politik uang itu sebagai racun, hasil riset itu tentu menjadi alarm bagi kita semua. Masih terus permisif atau segera sadar bahwa kedaulatan rakyat terancam.

Argumentasi berikutnya, integritas pemilu menjadi isu paling aktual dalam demokrasi electoral di jagat ini. Annan dkk (2012) mendefinisikan integritas pemilu adalah: Setiap pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi hak pilih universal dan kesetaraan politik sebagaimana tercermin dalam standar dan perjanjian internasional, dan profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dan administrasi selama siklus pemilu. Pelaksanaan pemilu yang diwarnai politik uang tidak mampu menghadirkan aspek-aspek prinsipal tersebut.

Dalam Buku Strengthening Electoral Integrity,  Pippa Norris bahkan mengingatkan bahwa politik uang adalah pelanggaran serius yang menggerogoti integritas pemilihan.

Menurut Norris ada tiga level kerusakan yang ditimbulkan oleh politik uang terhadap integritas pemilihan umum, yang bersumber pada praktik korupsi seperti suap, pemerasan, kecurangan, dan nepotisme, adalah bagian dari pelanggaran integritas pemilu ini, termasuk juga metode yang melanggar hukum seperti intimidasi, kekerasan, dan pencurian.

Pippa Norris menjelaskan, di level kontestasi elektoral; politik uang berpotensi mengakibatkan "arena pertandingan" menjadi tidak rata dengan menghambat kampanye oposisi atau dengan menyedot sumber daya negara untuk membiayai kampanyenya sendiri.

Selanjutnya, di level preferensi pemilih , baik petahana maupun oposisi dapat melakukan pembelian suara (vote buying). Vote buying secara efektif mengabaikan hak warga negara untuk secara bebas memformulasikan  dan mengekspresikan preferensi politiknya.

Terakhir pada level hasil kontestasi pemilu, tindakan yang sering meruntuhkan integritas pemilihan umum adalah manipulasi proses pemberian suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi (aggregating ballots) dalam berbagai cara seperti penggelembungan suara, merusak atau memanipulasi hasil pemungutan suara, melakukan kesalahan penghitungan dengan sengaja, mempermainkan proses rekapitulasi suara dan lainnya.

Dahsyat kan dampaknya? Bawaslu RI menjadikan politik uang sebagai isu serius yang membutuhkan atensi semua pihak dalam penanganannya. Politik uang juga menjadi salah satu varibel dengan bobot besar dalam penyusunan indeks kerawanan Pilkada (IKP) 2020. Sudah sepatutnya politik uang kita kutuk, bukan sekedar perbuatan kriminal. Tapi kejahatan pemilu yang mengancam bangunan demokrasi.

Giliran Kanit II Satreskrim Polres Purworejo yang juga anggota Sentra Gakkumdu Iptu Bruyi Rohman Wasito SH MH. Penyidik spesialis kasus tipikor ini menjelaskan bahwa politik uang atau money politic merupakan salah satu bentuk pidana pemilu. Penanganannya bukan hanya dilakukan Bawaslu, tapi melibatkan unsur kepolisian dan kejaksaan melalui Sentra Gakkumdu. Prosesnya pro justitia.

Bruyi menjelaskan, teknik penyidikan kasus pidana politik uang sebenarnya tidak berbeda jauh dengan pidana umum maupun pidana khusus. Norma utama hukum acaranya tetap menggunakan KUHAP. Kecuali untuk hal-hal yang sudah secara khusus diatur dalam undang-undang pemilu yang sifatnya lex spesialis.

Misalnya, soal waktu penanganan yang diatur terbatas. Dalam undang-undang pemilu, waktunya relatif panjang. Di Bawaslu 14 hari, tahap penyidikan 14 hari, JPU 5 hari, dan pengadilan 7 hari. Sedangkan di undang-undang Pilkada, waktu di Bawaslu diperpendek hanya 5 hari. Skema waktu yang cepat itu meniscayakan sinergi yang baik dari ketiga unsur di Sentra Gakkumdu.

"Sampai ada lembaga yang egois, jangan harap bisa menuntaskan kasus politik uang," pesan Bruyi.

Kerjasama dan sinergi itu menurut Bruyi dia pelajari dari pengalaman penanganan kasus politik uang pada pemilu 2019 lalu. Sejak proses temuan, klarifikasi di Bawaslu, penyidikan, hingga penuntutan, ketiga lembaga di Sentra Gakkumdu ini sudah bahu membahu bekerjasama dalam peran masing-masing.

Hasilnya, kasus itu inkracht sampai di Pengadilan Tinggi (PT) Semarang. Terdakwa calon legislatif petahana dinyatakan bersalah dan akhirnya didiskualifikasi oleh KPU Purworejo sehingga gagal ditetapkan sebagai calon terpilih. Kendati perolehan suaranya berhak mendapatkan satu kursi.

Kasi Intel Kejaksaan Negeri Purworejo yang juga anggota Sentra Gakkumdu Zaenal Abidin SH MH mengingatkan bahwa ancaman pidana politik uang di undang-undang Pilkada jauh lebih berat dibandingkan di undang-undang pemilu. Politik uang saat Pilkada terancam hukuman maksimal 72 bulan dengan denda sampai Rp 200 juta.

Seusai pasal 187A ayat (1), orang yang bisa dijerat delik politik uang bukan hanya peserta pilkada dan tim suksesnya saja. Tapi setiap orang yang menjanjikan atau memberikan sesuatu berupa uang atau barang untuk mempengarui pemilih. Bahkan di ayat (2), penerima dari pemberian politik uang ini juga terancam pidana yang sama.

Membandingkan dua undang-undang tersebut, politik hukum dari undang-undang Pilkada sebenarnya jauh lebih progresif dalam menjerat kasus politik uang. Di samping ancaman hukumannya lebih berat, subyek hukum yang bisa dijerat juga lebih luas.

Zaenal mengingatkan bahwa racun demokrasi itu tidak semestinya dibebankan kepada penyelenggara pemilu dalam mengatasinya. Semua komponen masyarakat semestinya terlibat untuk mencegahnya. 

"Tugas penegakan hukum silakan dibebankan ke kami. Tapi pencegahan tolonglah tokoh agama, tokoh masyarakat dan semua masyarakat agar melibatkan diri. Demi kelangsungan demokrasi di republik ini," katanya.

Partai politik sebagai elemen penting dalam demokrasi juga diharapkan mulai berpikir pentingnya menyehatkan kembali sistem electoral. Tudingan pelaku utama politik uang dari kader-kader parpol yang mengikuti kontestasi harus dijawab dengan perubahan paradigma dan perilaku. Mengedukasi konstituen untuk menyehatkan demokrasi, bukan justru meracuni mereka dengan suap-suap politik.

Menurut Zaenal, jika telah muncul kesadaran kolektif bahwa politik uang benar-benar sebagai racun demokrasi, berikutnya akan melahirkan budaya hukum. Kesadaran menghindari dan melawan politik uang. Bukan karena paksaan atau ancaman hukuman, tapi budaya hukum masyarakat yang telah memegang nilai-nilai itu.

Jarum jam telah menunjukkan pukul 17.15 WIB. Moderator memberikan kode forum segera berakhir. Masing-masing dari kami bertiga diberikan kesempatan menyampaikan closing statement.

Setelah itu, persis setelah salam penutup diucapkan moderator, hidangan kolak dan nasi kardus dilengkapi lauk opor ayam kampung terhidang di meja. Hanya beberapa menit suara adzan Maghrib berkumandang merdu. Nikmatnya buka puasa sore itu. Allahumma laka shumtu wa bika amantu wa 'ala rizkika afthortu  birahmatika ya arhamarrahimin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun