Mohon tunggu...
Kang Kholiq
Kang Kholiq Mohon Tunggu... Freelancer - MENYUKAI KESEDERHANAAN

Menulis itu kerja keabadian _Pramoedya_

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Racun Demokrasi

26 Mei 2020   20:34 Diperbarui: 26 Mei 2020   20:26 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

KBBI mendefinisikan racun  adalah zat (gas) yang dapat menyebabkan sakit atau mati (kalau dimakan, dihirup). 

Saya berpendapat bahwa kiasan racun sangat tepat untuk menggambarkan daya rusaknya. Sebagaimana orang yang mati keracunan, reaksi racun itu tidak bisa dilihat sesaat, tapi dampaknya sangat dahsyat.

Kita semua tahu bahwa demokrasi electoral yang diejawantahkan melalui pemilu, sesungguhnya merupakan implementasi kedaulatan rakyat. Mekanisme yang menjadi ruang bagi rakyat dalam menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegaranya. Maka politik uang itu yang menjadi racun karena mengakibatkan rakyat tidak lagi memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan. 

Dampak paling parah, akibat politik uang, partisipasi rakyat menjadi hilang dalam penyelenggaraan negara. "Suoro wis dituku, yo wis ora iso jejaluk po meneh aspirasi meneh"

Bagaimana dengan pemilu 2019 lalu? menarik disimak hasil riset dari Indikator. Jumlah pemilih yang terlibat dalam jual beli suara dalam pemilu 2019 yang lalu berkisar antara 19,4 % hingga 33,1%. Angka ini termasuk yang tertinggi ketiga di dunia. Jika kita sepakat bahwa politik uang itu sebagai racun, hasil riset itu tentu menjadi alarm bagi kita semua. Masih terus permisif atau segera sadar bahwa kedaulatan rakyat terancam.

Argumentasi berikutnya, integritas pemilu menjadi isu paling aktual dalam demokrasi electoral di jagat ini. Annan dkk (2012) mendefinisikan integritas pemilu adalah: Setiap pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi hak pilih universal dan kesetaraan politik sebagaimana tercermin dalam standar dan perjanjian internasional, dan profesional, tidak memihak dan transparan dalam persiapan dan administrasi selama siklus pemilu. Pelaksanaan pemilu yang diwarnai politik uang tidak mampu menghadirkan aspek-aspek prinsipal tersebut.

Dalam Buku Strengthening Electoral Integrity,  Pippa Norris bahkan mengingatkan bahwa politik uang adalah pelanggaran serius yang menggerogoti integritas pemilihan.

Menurut Norris ada tiga level kerusakan yang ditimbulkan oleh politik uang terhadap integritas pemilihan umum, yang bersumber pada praktik korupsi seperti suap, pemerasan, kecurangan, dan nepotisme, adalah bagian dari pelanggaran integritas pemilu ini, termasuk juga metode yang melanggar hukum seperti intimidasi, kekerasan, dan pencurian.

Pippa Norris menjelaskan, di level kontestasi elektoral; politik uang berpotensi mengakibatkan "arena pertandingan" menjadi tidak rata dengan menghambat kampanye oposisi atau dengan menyedot sumber daya negara untuk membiayai kampanyenya sendiri.

Selanjutnya, di level preferensi pemilih , baik petahana maupun oposisi dapat melakukan pembelian suara (vote buying). Vote buying secara efektif mengabaikan hak warga negara untuk secara bebas memformulasikan  dan mengekspresikan preferensi politiknya.

Terakhir pada level hasil kontestasi pemilu, tindakan yang sering meruntuhkan integritas pemilihan umum adalah manipulasi proses pemberian suara, penghitungan suara, dan rekapitulasi (aggregating ballots) dalam berbagai cara seperti penggelembungan suara, merusak atau memanipulasi hasil pemungutan suara, melakukan kesalahan penghitungan dengan sengaja, mempermainkan proses rekapitulasi suara dan lainnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun