Mohon tunggu...
kang abi
kang abi Mohon Tunggu... Relawan - Penggagas komunitas DUDUK DIAM

Pernah membawakan program siaran Sound Of Spirit (SOS) di radio Mustang 88FM jakarta (tahun 2004-2017). Penulis Buku Get Real ( Gagas media)

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Merawat Kewarasan Melalui #DiRumahAja

6 April 2020   19:22 Diperbarui: 6 April 2020   19:21 256
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kita semua membayar ongkos bagi kegilaan kita untuk bergegas, desakan kita yang membabi buta, kehidupan kita yang terburu-buru"-Jonathon Lazear

Saat ini, kita hidup dalam masyarakat yang serba terburu-buru (Manic Society), serba segera, serba cepat, serba ringkas juga tak segan potong kompas.

Ini bukan saja soal ritme dan aktifitas motorik yang ekstrem atau dorongan yang sangat kuat untuk bertindak, tetapi bahwa ini sudah menjadi tata nilai, acuan dalam mengukur kemajuan, pencapaian, kesuksesan dan keberadaban kehidupan kita hari ini.

Yang khas dan kental dari karakter masyarakat serba terburu-buru ini adalah ketidaksabarannya. Robert Holden pendiri The Happiness Project melukiskan karakter ini dengan miris:

"Jika sebuah hubungan tidak berkembang dengan cepat, kita meningalkannya. Jika seseorang tidak bisa bicara cukup ringkas, kita tutup telinga. Jika seseorang tidak bisa menjelaskan maksudnya dengan segera, kita jelaskan maksud mereka untuk mereka. Jika sebuah hubungan terantuk masalah, sulit dipercaya bahwa hubungan itu bernilai. Kita tidak nyaman dengan jeda dalam percakapan. Kita sering memotong pembicaraan untuk tiba di akhir lebih cepat, kita perlu terus bergerak"(Robert Holden-Success Intelligence).

Ketidaksabaran sering kali melahirkan kecerobohan dan kekonyolan yang sangat merugikan orang lain.

Sebut saja satu kasus bagaimana seseorang asal jepret dan posting saat melihat seorang bapak di halaman pusat perbelanjaan membawa beberapa troli belanjaan, menyusul diumumkannya 2 pasien positif COVID-19.

Belakangan muncul di sosial media keberatan dari pihak keluarga si bapak atas gambar yang kadung viral itu, yang menjelaskan bahwa orang tuanya adalah pedagang kelontong yang rutin sedemikian jumlah belanja untuk tokonya, bukan sedang terlibat panic buying sebagaimana yang ingin dikesankan.

Secara psikologis, prilaku dalam masyarakat ini di kelompokan dalam prilaku "Tipe H":

Hurried (bergegas). Prilaku yang selalu bergegas, seolah hidup sudah di tepian umur hidupnya. Hostile (ganas). Prilaku yang ganas tak kenal belas kasih. Dalam konteks bersaing, baginya orang lain adalah ancaman dari pencapaiannya, dan ini dalil untuk menyingkirkan segera pesaingnya. Humourless (gersang). Prilaku yang gak asik, garing dalam relasi sosial, penuh ketegangan dalam menghadapi setiap persoalan, sensitif (untuk menyebut gampang terpancing marah).

Hari ini, kita terkondisi untuk segala harus segera dicapai dipenuhi dan diselesaikan. Kita terdesak oleh tuntutan pribadi dan lingkungan, sampai tujuan hakiki justru diabaikan tapi yang nisbi diperjuangkan.

Kehidupan yang serba buru-buru ini adalah kehidupan yang mengajak kita untuk meninggalkan 'di sini' dan 'kini', lalu berlari dari apa adanya (proses) menuju 'ke sana', mengejar hasil akhirnya.

Rasa terdesaknya mengalihkan perhatian dari yang sedang dikerjakannya, karena pikirannya sudah "melompat"; "mengerjakan" apa yang berikutnya. Begitu terburu-buru ketika sejatinya tidak ada apapun yang memburu-buru, kecuali kesadarannya sendiri yang tidak hadir dalam momen saat itu.

Kita tidak bisa mengharapkan satu kesetiaan hubungan dan loyalitas dalam masyarakat seperti ini, karena pikiran liar jelalatan, alih-alih terlibat dalam gairah total dengan yang tengah ada bersamanya---mencari yang lebih, begitu pembenarannya.

Jeda dalam Titik Hening

Wednesday Slow Mechine adalah nama salah satu program highlight di radio station tempat saya pernah bekerja 10 tahun lalu. Program yang mengajak pendengarnya untuk jeda dan melambatkan kecepatan segala aktifitasnya. 

Seharian penuh, listener dimanjakan hanya oleh lagu, dan hanya memutar lagu slow bernuansa cinta, romantis yang diharap berdampak melambatnya gerak fisik dan pikiran. Kita memang perlu mendisiplinkan diri untuk sengaja jeda dan melambat, bahkan menurut saya, mampu untuk berhenti jeda adalah sejenis keterampilan langka yang mendesak untuk kita miliki hari ini.

Keterampilan inilah yang akan mengembalikan kewarasan diri dan arah hidup yang melenceng dari visi hidup: kebahagiaan lahir dan batin.

Ketergesaan lalu ingin cepat-capat telah menjauhkan kesempatan kita berintim (bonding ) dengan proses. sementara jeda, di mana gerak fisik dan psikis melambat, adalah tindakan cerdas, yang dapat merawat dan memelihara momen proses dari saat ke saat dengan perhatian dan kesadaran penuh selama beraktifitas.

Seperti pada balap mobil Formula satu, seorang pembalap (tak peduli seberapa handal dan cepatnya ia dapat memacu kendaraannya) akan mengambil kesempatan pit-stop. 

Pada momen ini, si pembalap mengatur strategi, ia mendapat perbaikan mesin, mengisi bahan bakar, mengganti roda, mendapat pengarahan, petunjuk dan selanjutnya ia melaju dengan kesegaran baru.

Demikian pula dengan jeda, berhenti beberapa saat adalah healing bagi fisik dan mental yang kelelahan. Kita 'mengisi' 'bahan bakar' yang adalah spirit hidup holistik, yang menghubungkan selalu setiap tindakan dengan potensi kearifan primordial untuk memberi arahan dan petunjuk bahwa, kebahagiaan lahir-batin bukanlah sesuatu yang jauh dari si diri yang mengejarnya, juga  suatu langkah cepat, taktis, praktis dan akurat muncul bukan sebagai respon kalut, tapi suatu spontanitas (terlihatnya) yang menemukan momentumnya.

Hari ini, ketika wabah COVID-19 telah menelan ribuan korban jiwa, akhirnya bukan saja kita di tanah air, tapi masyarakat dunia, berhenti jeda dan menarik diri, menjaga jarak (social distancing) untuk mencegah meluasnya penyebaran virus yang tak kenal ampun ini.

Selain sebagai suatu cara perlawanan kita dengan virus ini, mungkin hikmah lainnya adalah, alam sedang mengambil kesempatannya memanggil "pulang" manusia untuk "nyepi" di rumah, tidak melakukan aktifitas di luar, tidak menjalin kontak langsung dengan orang lain juga tidak membuat kegiatan yang mengundang kerumunan. 

Hanya dalam kesempatan seperti inilah kita juga dapat berdiam diri dalam pengertian lain, yakni  menelusuri batin ke titik heningnya melalui pengamatan seksama atas apa yang tengah berlangsung di luar diri dan mengamati segala reaksi batin (cemas, ketakutan, khawatir, bimbang, ragu tak menentu, dst) atas segala rangsangan dari luar yang ditangkap indra lahiriah kita.

Berdiam seperti di atas dapat kita lakukan beberapa menit saja, sendiri ataupun bersama keluarga selagi kita di rumah saja seperti keadaan saat ini. Masing-masing dapat mengambil postur duduk yang baginya cukup nyaman, lalu salah seorang dapat memandu yang lain. Sekilas panduan teknis, sebelum memejamkan mata, mula-mula dengarkan apapun yang dapat terdengar tanpa perlu bereaksi atas yang terdengar. Biarkan juga mata memandang apapun yang terlihat, tanpa perlu bereaksi dengan apa yang terlihat. Setalah beberapa saat, mata dapat mulai dipejamkan, berdiam sepenuhnya. Biarkan nafas keluar masuk dengan alami, tidak memerlukan usaha apapun untuk nafas masuk maupun nafas keluar.

Biarkan tubuh berdiam dan tenang, biarkan pula pikiran beraktifitas sebagaimana sifatnya yang selalu bekerja aktif, karena secara alami pikiran akan menempatkan dirinya pada keadaan yang pasif, tenang dengan sendirinya dan berhenti bergiat.

Semakin pikiran melambat semakin ia mendekat pada kedaan diam dan tenang, memungkinkan peluang batin menuju ke titik heningnya, yang membawa bimbingan kedamaian, ketentraman, kecerahan dan kebahagiaan.

Sampai titik ini, kita dapat mengembangkan metta meditation dengan membisikan perasaan welas asih, "Semoga semua makhluk berbahagia, semoga semua makhluk terbebas dari penderitaan".

---

Sumber bacaan: Robert Holden, Ph.D.-"Success Intelligence"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun