Ini dilema pertama. Mencukupkan rindu hanya pada bayangan senja, mengukir namamu pada tiang cakrawala, atau menemukan serpihan luka telah tertanam dalam jiwa. Raga tak berperasaan, jasad kasar mengembara tanpa kemudi ruhani terlantar. Sulit ku menyatukan tujuan.
Setiap senja menikam dengan cahaya indah, aku menangis seumpama satria kehilangan perbawa. Kulit naluri tersayat hingga luka berdarah, mata batin terhujam perih tak terkira. Dirimupun ku sangka demikian adanya, hidup di sangkar emas kesepian, meronta pada jendela terbuat dari percikan hianat tak bermata. Kita tersandera.
Setiap senja melampirkan proposal jeda kepada sang maha kuasa, setiap ukiran emas membentang dari langit utara menuju batas cakrawala, aku sering bertanya, "adakah kita telah menjadi manusia dewasa".
Beranikah kita mengadu wajah kepada senja? Benarkah khianat itu hanya milik manusia dewasa.
Kepada senja, kepada keadaan yang selalu membingungkan. Kepada dirimu, kepada kepalsuan janji yang telah kita sadari. Adakah kehilangan ini harus terus berulang?Â
*****
Baganbatu, juni 2021