Matanya jernih, ada telaga kejujuran di dalam sana. Mulut tak henti berceloteh, kadang tentang kunang-kunang dengan cahayanya yang menakjubkan, atau sebentar kemudian bercerita betapa baiknya paman dan tante membelikan sebuah boneka indah.
Jari tanganya lentik, kuku-kuku berbaris rapi menambah cantik. Jika digerakan untuk memetik bunga, harum menguar berlipat ganda. Sama-sama indah.
"Ibu, apakah ayah seorang pendosa? Berbilang tahun tak pernah berani menginjakan kaki di tanah persada". Jika tanya ini dari jiwa polos tanpa noda, adakah seorang ibu patas berdusta?
"Tidak anaku. Ayahmu seorang gagah perkasa, pernah menakhlukan samudera demi meraih cita-cita". Bibir bergetar, mata hendak menitikan airmata kedukaan. Berat hendak mengatakan, tapi jauh lebih malang jika sekali penuh kedustaan.
"Ayahmu tergoda ambisi, hendak membahagiakan ibu dengan limpahan materi. Ayah terlalu cinta kepada keluarga, hingga bujuk rayu setan disangka teman setia. Ayahmu terpedaya tipu dunia".
"Benarkah ayah pelaku korupsi?"
Ibu tak menjawab, tapi airmata hendak tumpah dari hamparan bianglala.
"Jika ayah benar korupsi, apakah darah dan daging ini terbuat dari sesuatu yang keji? Apakah neraka akan menjadi tempat kembali bagi orang-orang yang makan dan tumbuh dari hasil mencuri".
Jika diam itu benar-benar emas, ingin rasanya ibu menukarnya dengan kejujuran, pengakuan, permohonan maaf kepada gadis kecil di pangkuan. Apa artinya emas berkilauan, membandingkanya dengan kepolosan gadis kecil panjang masa depan.
"Nak, maafkan ibu. Maafkan ayahmu. Kami orang dewasa yang tak waapada menempuh langka".
Mereka saling berpelukan, menyatukan airmata sebagai permohonan.