Musim layangan
Seperti biasa kukejar kemana engkau mengarah, teriakan dan air mata tertumpah menggenangi lapangan gersang, segulung benang tercampak di rimbunan alang-alang.
Ku temukan dirimu melayang dalam ruang hampa penuh prahara, menukik dan melambung terserah angin kehidupan membawa. Pasrah kehendak alam menunjukan takdir, di ranting mana kan menuju akhir.
Musim rambutan
Aku paling benci semut rangrang. Berwajah congkak lagi paling senang menggigit hati. Membusungkan dada siap mempertahankan secuil cinta yang ia punya.
Memerah tanda memetik sebagai hadiah, tapi semut hitam pula mendahului anganku menjamah. Bagaimana aku memeluk hatimu, sedang ribuan aksara kawat berduri ada di sana.
Musim durian
Ini pertanda atau wejangan alam. Ribuan kilometer tercium aroma mencintai tak tertandingi, hujan badai bagai simponi tanpa arti. Demi dirimu di atas singgasana, duri tajam biarkan menggores perasaan.
Terlalu lama menunggu engkau mengunjungi, durian jatuh satu persatu. Bagai menghitung berapa tahun pertemuan ini, angan akan rindu menumpuk dalam seporsi.
Musim kebakaran hutan
Sebentar lagi aku menyusulmu. Menyaksikan dahan dan ranting kelojotan terbakar, uapkan air mata dan kedukaan.Â
Asap berserakan dalam kantung mata dan tabungan paru-paru. Memilih cintamu dan masker ungu rasa hatiku, membiarkan hutan terbakar hingga rasa aganku.
Terlalu, kata orang jauh. Tak bermutu, mereka menilai cinta musiman.
Bagan batu,April 2020