Mohon tunggu...
Kamaruddin
Kamaruddin Mohon Tunggu... Jurnalis - Mengingat bersama dengan cara menulis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Wisata CRU Sarah Deu Sampoinet dan Kelezatan Durian di Negeri "Mata Biru"

2 Agustus 2021   13:48 Diperbarui: 2 Agustus 2021   14:12 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Interupksi dari Muksin memudahkan perjalanan kami, Muksin merupakan asoe lhok alias penduduk asli Desa Ie Jeureungeh, Lamno. Dari Jalan Banda Aceh - Calang, Muksin mengarahkan kami berbelok ke kiri untuk menyusuri jalan pedesaan menuju ke lokasi. 

Dari Jalan utama kami menempuh jarak 14 km/jam untuk sampai di Desa Ie Jeureungeh. Disini kami tidak lagi ditemani laut, melainkan pegunungan yang ditutupi hutan belantara dengan keasrian yang luar biasa. Tidak ada asap knalpot yang mengganggu perjalanan kami. 

Kecuali, asap bekas penebangan pohon liar yang sesekali nampak di mata saya. Terkadang, sangat disayangkan perilaku-perilaku manusia yang serakah, mereka menebang, tanpa menimbang siapa yang bakal mereka cederai. Ya sudah, biar mereka saja yang mempertanggung jawabkan semuanya nanti.

Pedesaan memang tempat paling tepat untuk berisitirahat dari lelahnya menghadapi hiruk pikuk di perkotaan. Sesekali setelah melewati hutan rimba, kami melintasi pedesaan, disana beberapa pemandangan menarik pun memantik mata yang sudah mulai jarang kita lihat di kota. 

Mulai dari penduduk yang ramah-ramah, anak-anak yang belum tersentuh gadget, tidak paham akan dunia pertik-tokan dan ibu-ibu yang pulang dari sawah rapi menggunakan sepeda ontel di pinggir jalan. Berbeda jauh dengan sebagian penduduk kota yang bersepeda di badan jalan. Tak hanya itu, kami juga sangat mematuhi cara khas masuk ke pedesaan yaitu dengan membuka jendela mobil.

Setelah puas atas suguhan alam dari pegunungan dan pedesaan, pukul 13.30 tibalah kami di rumah tujuan, rumah orang tua Muksin. Disini kami berencana hanya beristirahat sejenak untuk makan dan shalat, sebelum berangkat ke kebun durian, kebun jeruk dan CRU Sampoinet. 

Namun, cuaca yang sangat labil hari itu, memaksa kami harus kembali mengikuti interupsi Muksin. Kata dia, cuaca basah dan hujan seperti ini, akan ada banyak sekali pacet atau pacat di sekitaran lokasi kebun durian dan jeruk. 

Pacat adalah binatang pengisap darah, sekerabat dengan cacing tanah, berbadan langsing mengecil ke depan, berwarna cokelat kekuning-kuningan sampai kehitam-hitaman, panjangnya sampai 50 mm, pada kepala terdapat lima pasang mata dan sebuah alat sebagai pengisap, di ujung belakang terdapat alat sebagai pelekat, berjalan seperti ulat jengkol, dapat memipihkan tubuh sampai sekecil benang.

Kami pun mengiyakan, karena akan sangat berbahaya jika kami memaksakan. Kami membawa lima orang anak kecil. Selain itu, Muksin adalah orang yang sangat kami percaya hari itu, terlebih dia penduduk asli di desa itu. Namun, batal berangkat ke kebun durian, bukan berarti kami batal untuk menyantap durian.

 Durian adalah buah yang dicintai sejuta umat, dari mulai baunya yang sangat khas, hingga rasanya yang sangat mantap. Apalagi durian Lamno, terkenal akan rasa dan warna yang cantik.

Muksinin saat membelah durian (Dokumentasi pribadi)
Muksinin saat membelah durian (Dokumentasi pribadi)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun