Mohon tunggu...
Kalista Setiawan
Kalista Setiawan Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswi / Penulis Amatir

Hasil dari gadget dan pikiran yang saling berkompromi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kala Kelana Si Pengelana

16 Juni 2020   19:03 Diperbarui: 16 Juni 2020   19:04 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada pengejaran ini, cahaya kilat makin berlari berkilat-kilat. Hendak menyerbuku dengan segudang jeruji kilatan. Aku pun sudah tak mau lagi melihat ke arah belakang. Tuk mengetahui sudah sampai mana cahaya kilatan menghampiri. Tatap ke depan saja, tak usah mengulik ke belakang. Agar tak berasa penat.

Dalam pandangan jauh menatap oasis di tengah perlarian, ada pintu portal yang terbuat dari emas. Saat aku berusaha fokus padanya, pintu itu makin mengeluarkan sinarnya. Seperti magnet yang tengah menarikku. Ah, sepertinya itu yang dibicarakan oleh Dia pada buku catatan sejarah. Aku semakin yakin, bahwa pintu itu adalah portal dimensi sesuatu yang dibicarakan Dia. Aku yakin, benar-benar yakin!

Dari arah belakang, derap langkah cahaya makin kuat berkilat-kilat. Bagai petir yang ingin menyambar. Diikuti dengan suara hembusan angin yang makin memekakkan telinga. Ingin rasanya kuakhiri saja. Namun sungguh sayang. Perjuangan ini tak boleh sia-sia belaka. Biarkan saja tubuh ini terkikis perihnya cahaya kilatan yang berkilat-kilat. Setidaknya, jasadku ini bisa jadi abu. Abu dari saksi bisu perjalananku. Agar terbang bersama angin dan terhirup ke dalam saluran pernapasan manusia di ujung rentetan waktu sana. Lalu, berbaur menjadi satu dalam aliran darah. Hingga pada akhirnya, aku berhasil merangsang seluruh manusia untuk menurut pada tujuan yang belum ku selesaikan.

Semakin lama ku berlari, semakin dekat jarak antara Aku dan sesuatu itu. Dan juga, cahaya kilatan yang makin mengikis tubuhku diikuti tiupan angin dahsyat dari arah belakang. Ah, aku tak boleh menyerah!

Hiyaaa!

Akhirnya, pintu portal itu terbuka. Sebab ku langsung melesak masuk dalam masa cepat yang tak bisa kuperkirakan. Tak ku kira, hembusan angin dari cahaya kilatan malah, turut membantuku untuk mendorong pintu itu. Dalam masa singkat, langsung saja ku tutup pintu itu rapat-rapat. Agar, kilatannya tak berhasil melesak masuk ke dalam.

Fiuhh! Akhirnya terlepas juga dari pengejaran tak berkepanjangan itu. Dari arah luar, kudengar sumpah serapah dari cahaya kilat. Semuanya dirapal secara asal menurut pada emosi yang dirasakan, karena tak berhasil menangkap sasaran. Aku pun terkekeh remeh. Kucoba, mengecek kondisi pintu kembali. Sudah terkunci rapat. Biar tahu rasa!

Kemudian aku membalikkan badan, ingin tahu dimana posisiku berada sekarang. Sebuah portal yang belum terjamah oleh tangan manusia. Dan akulah yang pertama berhasil masuk ke dalam sini. Alam masa mungkin membantu segala skenario ini. Aku turut berterima kasih dalam-dalam. Khususnya untuk diriku sendiri.

Sebuah kemegahan senja kemerahan dari bulatan sinar yang terang benderang di atas dimensi terpampang jelas dalam pandanganku. Selain itu savana pasir putih, samudera biru laut dengan desiran ombak putih membentang luas di dalam dimensi. Tak pernah ku bayangkan, pemandangan semegah ini.

Begitu menakjubkan mata. Aku termenung memandanginya. Betapa ciptaan itu sungguh membuatku mabuk kepayang. Rasa penasaran akan dimensi ini, semakin membuncah dalam diri. Kutinggalkan tepian pintu portal yang sempat kulewati untuk menembus kedalam sini.

Aku pun mulai menjelajahi dimensi tak bernama ini. Sesuatu "harta karun" yang berhasil ku jumpai. Begitu luas, hingga ku tak bisa memperkirakan ujungnya. Tak ada pembeda antar satu tempat dengan tempat lain. Begitu luas hingga, ku tak tahu sedang berada dimana. Kemudian kucoba, berlari ke belakang. Sesuai dengan arah yang tadi sempat kujajaki. Lantas, saat ku menoleh, tapak jejak kaki pada pasir putih disini tak membekas sedikit pun. Walau, agak bingung. Kucoba kembali berjalan melewati jalan yang kurasa sama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun