Mohon tunggu...
De Kalimana
De Kalimana Mohon Tunggu...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Inilah Jaman Edan; Menyelisik Serat Kalatidha Ranggawarsita

28 Oktober 2016   23:10 Diperbarui: 1 Oktober 2018   23:44 4641
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bait ketujuh serat ini secara lengkap adalah : Amenangi zaman édan (menyaksikan zaman gila) ;éwuhaya ing pambudi (serba susah dalam bertindak); mélu ngédan nora tahan (ikut gila tidak akan tahan); yén tan mélu anglakoni (tapi kalau tidak mengikuti gila); boya kéduman mélik (bagaimana akan mendapatkan bagian); kaliren wekasanipun (kelaparan pada akhirnya);  ndilalah kersa Allah (namun telah menjadi kehendak Allah);  begja-begjaning kang lali (sebahagia-bahagianya orang yang lalai);  luwih begja kang éling klawan waspada (akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada).

Kelebihan Serat Kalatidha adalah bahwa Ranggawarsita tidak berhenti pada kekecewaan, tidak sekedar memasalahkan masalah, namun memberi peringatan sekaligus solusi: “Eling” lan “Waspada”.  “Eling” kepada Yang Maha Kuasa dan “Waspada” kepada manusia dan kehidupan manusia. Ranggawarsita  tidak pernah menganjurkan orang jadi pemberontak, melainkan manusia hendaknya “Ikhtiar” dengan benar dan kemudian percaya kepada “Takdir”.

Syair Kalatidha dibagi menjadi tiga bagian: Bagian Pertama (bait 1 sampai 6) adalah tentang keadaan masa Rangga Warsita yang tanpa prinsip;  Bagian Kedua (bait 7) isinya adalah ketekadan dan sebuah introspeksi diri; dan  Bagian Ketiga (bait 8 sampai 12) isinya adalah sikap seseorang yang taat agama di dalam masyarakat. Makna dari tiap bait adalah :

1) Bait pertama: Keadaan negara yang demikian merosot karena tidak ada lagi yang memberi tauladan.  Banyak yang meninggalkan norma-norma kehidupan.Para cerdik pandai terbawa arus jaman yang penuh keragu-raguan. Suasana mencekam karena dunia sudah penuh masalah.

2) Bait ke dua: Baik raja, patih, pimpinan lainnya dan para pemuka masyarakat, semuanya baik. Tetapi tidak menghasilkan kebaikan. Hal ini karena kekuatan jaman Kala bendu. Pendapat orang satu negara berbeda-beda (beda-beda ardaning wong sak nagara).

3) Bait ke tiga: Hati rasanya menangis penuh kesedihan karena dipermalukan. Karena perbuatan seseorang yang seolah memberi harapan. Karena ada pamrih untuk mendapatkan sesuatu. Karena terlalu gembira sang Pujangga kehilangan kewaspadaan.

4) Bait ke empat: Ranggawarsita mengungkapka bahwa ia terlalu GR dengan kabar angin bahwa ia akan dijadikan “pangarsa”, pimpinan. Ketika kemudian harapannya ternyata hilang, ia mencoba menghibur diri dengan mengungkapkan: Untuk apa jadi pemimpin kalau hanya menanam kesalahan yang disiram dengan air lupa. Bunga yang dipetik hanyalah “masalah”.

5) Bait ke lima: di jaman yang penuh musibah ini orang yang berbudi akan ditinggalkan. Apa manfaatnya percaya pada desas-desus.

6) Bait ke enam: Kisah ini dapatnya dijadikan cermin dalam menimbang hal-hal yang baik dan yang buruk. Setelah ketemu akhirnya bisa “nrima” dan berserah diri pada kehendak takdir.

7) Bait ke tujuh: Mengalami hidup pada jaman edan yang penuh dilema; Namun bagaimanapun beruntungnya orang yang “lupa”; Masih lebih beruntung orang yang “ingat” dan “waspada”.

8) Bait ke delapan: Ranggawarsita mulai merasa tua, mulai memikirkan kematian. Merasa banyak dosa ditambah menyadari kematian maka ki Pujangga berupaya mencari pengampunan dosanya. “Menyepi” adalah ungkapan Jawa untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun