Mohon tunggu...
Keza Felice
Keza Felice Mohon Tunggu... Freelancer - Bloger and Content Writer

Content Writer✓Ghost Writer✓SEO Content✓kezafelice.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Berikan Bola Matamu!

25 Oktober 2018   18:43 Diperbarui: 25 Oktober 2018   19:01 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam yang gelap gulita kembali datang menggantikan keindahan senja. Seorang gadis bertubuh kurus dengan rambut terurai sedang duduk di teras rumahnya. Memandangi langit yang tidak berbintang. Sesekali matanya menyisir sekeliling rumah, memperhatikan dedaunan yang bergoyang terkena embusan angin.

Lama ia duduk termenung menunggu kehadiran bintang sembari menikmati secangkir kopi. Ia begitu menyukai malam meski terkadang bintang tidak menampakkan keindahannya. Sama seperti malam ini. Gadis berambut panjang itu masih saja menatap langit yang sepi. Sesekali ia teguk kopinya yang mulai dingin dengan tetap memeluk boneka lusuhnya.

Boneka yang sudah menemaninya sejak balita. Boneka berwarna coklat tua yang mulai memudar. Kedua bola mata boneka itu sudah hilang, bekas jahitan pun terlihat di sana, menutupi lubang dari mata yang hilang.

Dedaunan rimbun terus bergoyang seiring dengan embusan angin yang semakin kencang. Kedua mata gadis itu menatap satu keganjilan yang nampak nyata di hadapannya. Ia melihat sebuah boneka yang sangat mirip dengan boneka miliknya.

Namun, boneka yang ia lihat nampak lebih besar. Boneka itu berdiri di seberang jalan, di bawah pohon mangga. Tidak ada siapapun di balik boneka itu. Hanya ada pohon mangga, boneka yang nampak sama dengan miliknya dan kertas berukuran besar yang menempel pada pohon mangga itu.

"Berikan bola matamu!"

Tulisan itu dapat terbaca dengan jelas ketika cahaya kendaraan yang berlalu lalang tak sengaja menyoroti kertas itu. Tulisan berwarna merah seperti darah. Tulisan yang memiliki lambang bola mata.

Nadin. Gadis berambut panjang pemilik boneka beruang berwarna coklat tua yang mulai memudar. Pandangannya tiba-tiba menjadi buram setelah membaca tulisan itu. Kilas balik masa lalu tiba-tiba menghantam ingatannya.

Kenangan tentang boneka beruang yang selalu menemaninya setiap waktu. Gunting dan pisau yang ia genggam dengan kedua tangannya. Sapu tangan merah muda yang ia letakkan di atas perut boneka itu, balok kayu yang diinjaknya. Dan juga, dua bola mata boneka yang berhasil ia congkel keluar. Semua bayangan itu datang silih berganti.

Tiba-tiba ada ketakutan yang ia rasa ketika melihat boneka beruang yang berada dalam pelukannya, juga boneka di seberang jalan sana. Tubuhnya menggigil, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat. Ia memejamkan mata beberapa saat, berharap boneka di seberang jalan sana akan hilang ketika ia membuka mata.

Selamatkan aku Tuhan!

Ia memohon ketika menyadari bahwa boneka besar itu masih berada di bawah pohon mangga saat matanya kembali terbuka. Ia bahkan baru menyadari bahwa boneka yang berada dalam pelukannya itu telah menghilang.

Nadin segera berdiri untuk meninggalkan tempat duduknya, akan tetapi langkahnya terhenti ketika kakinya menginjak sesuatu. Ia segera menunduk untuk memastikan, dan ternyata boneka beruang kesayangannya itu telah berada di bawah kakinya. Nadin pun mengambil boneka miliknya itu dan membersihkan bagian kepalanya yang tak sengaja terinjak.

Ketika Nadin sedang membersihkan bagian mata yang terjahit, tiba-tiba ia merasakan sebuah sentuhan di pundaknya. Nadin tidak menoleh sedikitpun, ia tidak memiliki keberanian untuk melakukannya saat itu. Hanya sebuah lirikan yang dapat ia lakukan untuk memastikan siapakah yang berada di sisinya.

Oh Tuhan!

Nadin bergumam, ia tahu bahwa boneka beruang besar dari seberang jalan itulah yang kini berada di sampingnya. Keringat dingin menetes berulang kali dari pelipis Nadin. Nafasnya tersengal-sengal, tangannya seperti tak berfungsi, hingga boneka beruang kecil yang ia gendong terhempas kembali ke tanah.

Nadin segera berlari meninggalkan secangkir kopi miliknya dan juga dua boneka itu. Saat itulah suara-suara yang meminta bola matanya kembali terdengar. Rintihan dan suara tangisan terus memekakkan telinganya. Tanpa di sadari, telinganya mulai mengeluarkan darah.

Nadin semakin cemas. Ia terus berlari tanpa memperdulikan arah tujuannya. Tiba-tiba ia terhenti ketika menyadari bahwa ia bukan berlari ke dalam rumah, melainkan taman yang terletak di belakang rumahnya.

Nadin terisak, rambut panjangnya nampak awut-awutan. Berulang kali ia meremas lengannya sendiri, menahan ketakutan. Pijar lampu di sekitaran taman sangat redup, membuatnya semakin ketakutan. Tidak ada siapapun di sana, kecuali ia dan juga dua boneka beruang yang telah berada beberapa meter darinya.

"Berikan bola matamu!"

"Berikan bola matamu!"

"Congkel bola matamu!"

Boneka beruang itu terus mendekat. Jahitan pada bagian matanya mengeluarkan darah, meresap pada bagian pipinya dan membuat wajah boneka itu menjadi lembab. Gunting dan pisau yang berada dalam bayangan masa lalunya tiba-tiba berada dalam genggaman Nadin, entah dari mana asalnya.

Perlahan ia berjalan mundur, menghindari dua boneka beruang yang terus mendekatinya. Boneka itu seperti memendam kebencian pada Nadin. Tampak beberapa gigi pada mulut boneka itu. Hidungnya terkoyak, lengannya robek, dan jahitan pada kedua matanya terlepas perlahan.

Darah-darah kental terus keluar dari bekas jahitan itu. Membasahi rumput-rumput di taman. Sedangkan Nadin masih tak mengerti harus berbuat apa dalam keadaan seperti itu. Tangannya terasa sangat kaku, ia seperti sedang dikendalikan.

Boneka beruang di hadapannya terus mengucapkan kalimat yang sama. Kalimat yang membuat Nadin sangat ketakutan. Ia tidak ingin mencongkel bola matanya sendiri.

"Maafkan aku, kalian hanya sebuah boneka mainan," ucap Nadin lirih.

Ia berharap kedua boneka itu akan menghentikan langkahnya. Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Boneka itu semakin marah dan telah berada lima centi dari hadapannya. Kini ia tinggal menunggu takdir Tuhan yang akan menyelamatkannya atau membuatnya berakhir tanpa kedua bola matanya.

"Berikan bola matamu!"

"Congkel bola matamu!"

Kedua boneka itu terus bergantian mengatakan kalimat itu. Membuat Nadin semakin tak berdaya. Embusan angin terasa menusuk kulitnya. Tubuhnya tak lagi dapat bergerak. Langkah kakinya terhenti, seperti tertahan oleh sesuatu. Tangannya masih menggenggam pisau dan juga gunting.

Brukgh,

Nadin tersungkur saat sebuah pukulan mendarat pada kepalanya. Pandangannya tiba-tiba menjadi sangat buram. Ia melihat boneka beruang besar di hadapannya itu sedang menggenggam kayu balok. Kayu yang sama seperti miliknya di masa lalu. Dan semuanya semakin terasa tidak masuk akal.

Boneka beruang kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi, kini berada tepat di atas ulu hatinya. Menginjaknya begitu kuat, hingga Nadin hampir memuntahkan isi perutnya. Ia ingin sekali berdiri, akan tetapi tubuhnya kaku. Ia tidak dapat menggerakkannya sama sekali.

Darah masih menetes dari bekas jahitan pada mata boneka beruang coklat itu. Tetesan yang menjadikan wajah Nadin berlumuran darah. 

Sembari memulihkan tenaganya, Nadin kembali menyadari keberadaan sebuah benda yang seingatnya telah ia bakar beberapa tahun yang lalu. Sapu tangan merah muda. Warna dan bentuk yang sama seperti di masa kecilnya, kini benda itu telah menutupi dadanya. Nadin pun menjasi semakin ketakutan. Ditambah gunting dan pisau yang ia genggam sebelumnya telah hilang. 

Sesaat Nadin merasa lega karena benda tajam itu tidak lagi berada dalam genggamannya. Namun, seiring dengan permintaan boneka-boneka itu untuk meminta bola matanya, ia menyadari bahwa ternyata gunting dan pisau itu telah berada dalam genggaman boneka beruang kecil yang berada di atas ulu hatinya.

"Kau harus menggantikan bola mataku yang dulu kau congkel keluar, Nadin!"

Suara boneka beruang yang berada dia atas ulu hatinya itu membuatnya menjerit. Ia sangat ketakutan. Semakin ia takut, semakin banyak ia melihat boneka-boneka beruang tanpa bola mata di sekelilingnya. Kini ia berada di tengah-tengah boneka beruang yang terus meminta bola matanya.

Pipinya kini terasa dingin. Sentuhan pisau dan gunting yang terus mendekati bola matanya begitu terasa. Bulir air mata tak dapat lagi ia bendung. Dalam hatinya, ia berdoa agar kedua orang tuanya akan hidup bahagia tanpanya. Karena ia akan mempertanggung jawabkan semua perbuatannya saat kecil. Kedua bola matanya akan dicongkel keluar, dengan cara yang sama seperti saat ia mencongkel kedua bola mata boneka beruang kesayangannya itu.

"Bersiaplah Nadin!"

Boneka itu berseru saat pisau dan gunting telah mencapai masing-masing lingkaran kedua mata Nadin.

Tidaaaaaaaaak!!

Nadin menjerit histeris.

"Nadin, Nadin? Bangun Nak!"

Suara ibu membuat Nadin tersadar. Ternyata ia hanya bermimpi. Nafasnya masih tersengal-sengal, akan tetapi hatinya merasa tenang, karena semua hanya berada dalam mimpinya, ia tidak akan kehilangan apapun, termasuk bola matanya.

-Kaiza.251018-

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun