Cancel culture juga perlu diperhatikan penyebab kemunculannya, apakah sebagai bentuk kepekaan sosial masyarakat yang diekspresikan sebagai pembelaan terhadap pelaku atau korban.Â
Berakibat fatal bila, cancel culture berangkat atas dasar hobi seseorang yang senang melihat Indonesia terus gaduh, tidak damai dan tenteram dalam menjalani kehidupan sehari-hari guna menyelesaikan setiap persoalan yang telah menyita waktu pejabat hingga rakyat dalam memenuhi kebutuhan hidup.
Berkembangnya, teknologi membuat seseorang dengan mudah membuat petisi untuk menghakimi seseorang atas perbuatan dan tindakannya, sekalipun sudah ada aturan yang dapat menjerat pelaku yang dengan sengaja melakukan penyebaran informasi yaitu, Ada 6 macam penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di KUHP, sebagai berikut: 1). Penistaan (Pasal 310 ayat (1) KUHP); 2). Penistaan dengan surat (Pasal 310 ayat (2) KUHP); 3). Fitnah (Pasal 311 KUHP); 4). Penghinaan ringan (Pasal 315 KUHP); 5). Pengaduan palsu atau pengaduan fitnah (Pasal 317 KUHP); 6). Perbuatan fitnah (Pasal 318 KUHP).
Sebagaimana larangan seseorang melakukan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik di UU ITE diatur di Pasal 27 ayat (3) UU ITE. Sedangkan sanksi yang melakukan perbuatan itu diatur di Pasal 45 ayat (3) UU19/2016, yakni, setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta. Perlu diketahui bahwa ketentuan di atas merupakan delik aduan. Selanjutnya, dalam Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 disebutkan bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
Baca Artikel Lainnya:Â Nageri Tanpa Nama