Menurut bukti-bukti penemuan arkeologis, masyarakat nusantara, khususnya di seputar Ibu Kota Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur telah mengenal celengan dari tanah liat bakar (terakota) sebagai media menabung sejak abad 13-15 Masehi.Â
Maknanya, masyarakat nusantara telah tersentuh literasi menabung alias "melek nabung" sekaligus mentradisikannya sejak enam ratusan tahun silam. Bukti hebatnya, jejak celengan masih tetap terlihat sampai hari ini dengan berbagai varian evolusinya.Â
Uniknya, meskipun transformasi bentuk, bahan bahkan teknologi celengan sekarang lebih variatif, tetap saja masyarakat menyebutnya celengan! Bukan Ayaman untuk bentuk ayam, gajahan untuk bentuk gajah, blekan untuk celengan dari bekas blek/kaleng biskuit  atau bambuan untuk model celengan yang terbuat dari ruas batang bambu atau mungkin digitalan untuk celengan digital yang bayak dijual secara online.
Sampai saat ini, meskipun pesatnya teknologi komunikasi ikut membantu dunia perbankan melahirkan produk-produk perbankan berbasis digital yang relatif memudahkan, hingga sepertinya juga punya andil meminggirkan "celengan" tradisional, tapi kedekatan budaya, keunikan bentuk, model, warna dan bahan pembuat "celengan" tradisional yang beragam, tetap saja menjadi model literasi paling efektif untuk mengedukasi perlu dan pentingnya menabung sejak dini kepada anak-anak, khususnya dalam lingkup lingkungan keluarga.
Tradisi menabung Urang Banjar yang unik dan inspiratif pada masanya!Â
Bagi masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan yang dikenal luas sebagai komunitas pedagang yang ulung, tradisi menabung benar-benar telah ditanamkan sejak dini, juga melalui media celengan. Hal ini tidak terlepas dari "rumus penghasilan" dari pedagang yang memang tidak menentu.Â
Jadi, bagi masyarakat Banjar menabung merupakan salah satu bentuk pertahanan diri dari berbagai bentuk ketidak pastian!
Menariknya, menabung di celengan ini merupakan media perantara saja, karena tradisi menabung Urang Banjar tidak menggunakan instrumen uang, tapi emas yang umumnya diprioritaskan sebagai simpanan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah.
Sejak anak-anak, kami sudah biasa diberi pemahaman terkait road map tradisi menabung ala Urang Banjar tersebut, termasuk dibiasakan "menganggarkan" sejumlah uang untuk ditabung.  Baik uang hasil pemberian untuk ditabung, maupun menyisihkan segera sebagian jatah uang jajan sebelum digunakan. Biasanya, uang akan kami tabung di celengan. Setelah celengan penuh, biasanya dibongkar dan dibelikan emas, untuk kembali disimpan sebagai bekal untuk menunaikan ibadah haji kelak atau sekarang juga berkembang untuk melanjutkan pendidikan.
Jaman Telah Berubah!
Dalam perjalanannya, tradisi menabung tradisional ala Urang Banjar seperti diatas mulai bergeser secara signifikan sejak pemerintah menunjuk lembaga perbankan (syariah) sebagai penerima setoran pelunasan ONH (Ongkos Naik Haji) atau sekarang dikenal sebagai BPIH (biaya perjalanan ibadah haji), sekaligus mewajibkan calon jamaah haji membuka rekening di berbagai lembaga perbankan yang ditunjuk untuk keperluan pengelolaan biaya berhaji.