Mohon tunggu...
Kadek Anngi Taradita
Kadek Anngi Taradita Mohon Tunggu... Juara 3 Debat Ilmiah Tahun 2019

Hobi membaca novel

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Krisis Pendidikan Modern: Mengapa Kita Butuh Filsafat?

14 September 2025   15:58 Diperbarui: 14 September 2025   15:58 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pernahkah Anda merasa bahwa ada yang hilang dari sistem pendidikan kita? Di satu sisi kita menyaksikan anak-anak yang berprestasi secara akademis dengan menguasai pelajaran sains dan matematika dengan gemilang. Namun di sisi lain, kita dikejutkan dengan berita perundungan yang terjadi di sekolah yang mana empati dan kemanusiaan seolah lenyap. Mengapa ada anak yang pintar di kelas tapi tidak tahu cara berinteraksi secara sehat dengan orang lain? Atau mengapa ada lulusan yang punya banyak sertifikat tapi justru tidak tahu harus berbuat apa dengan hidupnya.

 

Kegelisahan ini terasa begitu dekat dengan kita entah sebagai orang tua, pelajar, atau siapa pun yang peduli dengan masa depan. Ternyata semua masalah ini berakar pada satu hal yaitu filsafat pendidikan. Ilmu ini adalah "otak" di balik setiap kurikulum, setiap metode mengajar, dan setiap aturan di sekolah. Dahulu para guru tidak hanya mengajarkan ilmu tetapi juga adab dan akhlak serta memastikan pengetahuan yang diajarkan bermanfaat sekaligus membentuk karakter. Namun seiring waktu ada pengaruh besar yang merusak fondasi ini yang disebut sekularisasi. Secara tidak sadar sekularisasi telah memisahkan pendidikan dari nilai-nilai spiritual dan moral. Akibatnya, kita sering melihat "manusia palsu" yaitu manusia yang cerdas di atas kertas tapi kosong di dalam bahkan berani melakukan tindakan yang melukai sesama.

Pergeseran paradigma yang disebabkan oleh sekularisasi ini telah mengubah tujuan pendidikan secara total. Dalam konteks modern, pendidikan sering kali dilihat sebagai sarana untuk mencapai kesuksesan material bukan sebagai proses pembentukan individu yang utuh. Hal ini menciptakan disonansi yang mendalam antara apa yang diajarkan di sekolah dan apa yang benar-benar dibutuhkan oleh peserta didik untuk menjalani kehidupan yang bermakna. Oleh karena itu, artikel ini akan mengajak Anda untuk melihat lebih dalam dengan menggunakan tiga kacamata filsafat yang sederhana namun kuat yaitu Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi. Tiga kacamata ini akan membantu kita memahami mengapa sistem pendidikan kita seperti sekarang, dan mengapa kita perlu memikirkannya kembali.

1. Ontologi Pendidikan: Perdebatan Hakikat Pengetahuan dan Realitas

Ontologi berasal dari bahasa Yunani ontos (ada, being) dan logos (ilmu, kajian). Ontologi berarti ilmu tentang keberadaan atau hakikat sesuatu. Sederhananya, ontologi adalah ilmu tentang "keberadaan". Dalam pendidikan, ontologi menuntut kita untuk bertanya "Apa itu pengetahuan? Apa yang nyata dan penting untuk diajarkan?". Perbedaan pandangan ontologis secara langsung memengaruhi desain kurikulum dan tujuan pembelajaran. Secara historis, pandangan esensialisme mendominasi pendidikan. Pandangan ini berkeyakinan bahwa terdapat realitas objektif dan kebenaran universal yang bersifat tetap. Pendidikan menurut pandangan ini bertugas untuk mentransfer "esensi" pengetahuan yang telah teruji oleh waktu seperti ilmu-ilmu alam, matematika, sejarah, dan warisan budaya. Kurikulum disusun secara kaku dan terstruktur dengan harapan setiap peserta didik akan menguasai fondasi-fondasi keilmuan ini sebagai bekal hidup. Pendekatan ini sangat efisien dalam mencetak generasi yang memiliki pemahaman dasar yang seragam dan kokoh sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada masanya. Ia memberikan rasa aman dan prediktabilitas karena apa yang dianggap benar hari ini juga akan tetap benar di masa depan.

Namun, seiring dengan dinamika zaman pandangan ini mulai bergeser. Munculnya revolusi industri dan perkembangan teknologi mendorong masyarakat untuk tidak hanya menguasai pengetahuan tetapi juga beradaptasi dan berinovasi. Sebagai respons, progresivisme menawarkan perspektif yang berbeda dan mengklaim bahwa realitas bersifat dinamis dan terus berubah. Dari sudut pandang ini, hakikat pendidikan bukan lagi tentang transmisi pengetahuan statis melainkan pembekalan keterampilan adaptif. John Dewey, seorang tokoh utama progresivisme, menolak gagasan bahwa pendidikan hanya sekadar persiapan untuk kehidupan. Ia berargumen, "Pendidikan bukanlah persiapan untuk hidup tetapi pendidikan adalah kehidupan itu sendiri". Pandangan ini menegaskan bahwa proses belajar harus relevan dengan pengalaman nyata peserta didik dan mendorong mereka untuk menjadi pemecah masalah yang aktif bukan sekadar penerima informasi pasif.

Pergeseran ini termanifestasi dalam isu pendidikan saat ini yaitu ketegangan antara kurikulum yang berorientasi pada konten (fakta dan teori) dan kurikulum yang berorientasi pada keterampilan (berpikir kritis, kolaborasi, dan pemecahan masalah) merupakan manifestasi dari perdebatan ontologi. Di satu sisi, banyak yang masih meyakini pentingnya penguasaan dasar-dasar ilmu yang kokoh. Namun, di sisi lain tuntutan global menuntut lulusan yang fleksibel dan kreatif. Kurikulum yang kaku mencerminkan ontologi esensialisme, sementara inovasi pembelajaran berbasis proyek dan STEM (Sains, Teknologi, Rekayasa, dan Matematika) mencerminkan adopsi ontologi progresivisme. Ini adalah pergulatan filosofis yang menjadi landasan bagi setiap reformasi pendidikan yang kita saksikan.

2. Epistemologi Pendidikan: Tantangan Pengetahuan di Era Digital dan AI

Epistemologi berasal dari bahasa Yunani epistm (pengetahuan) dan logos (ilmu, kajian). Jadi, epistemologi adalah ilmu tentang pengetahuan, khususnya mengenai asal-usul, hakikat, dan kebenaran pengetahuan. Sederhananya, epistemologi adalah ilmu tentang "bagaimana kita tahu." Dalam pendidikan, epistemologi berfokus pada pertanyaan "Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Apa yang membuat suatu pengetahuan itu benar?". Isu epistemologis dalam pendidikan saat ini menjadi semakin kompleks dengan pesatnya perkembangan teknologi.

Secara tradisional, proses perolehan pengetahuan didominasi oleh dua aliran yaitu empirisme dan rasionalisme. Empirisme meyakini bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman dan observasi indrawi. Sementara itu, rasionalisme berpandangan bahwa pengetahuan sejati diperoleh melalui akal dan nalar. Namun, kemunculan teori konstruktivisme mengubah paradigma tersebut dengan menegaskan bahwa pengetahuan tidak sekadar diterima pasif melainkan dibangun secara aktif oleh individu melalui interaksi dengan lingkungannya. Dalam pandangan ini, siswa bukanlah wadah kosong yang siap diisi melainkan pembangun pengetahuan yang aktif. Saat ini kehadiran AI seperti ChatGPT yang mampu menyediakan informasi instan dan lengkap telah merusak model epistemologis tradisional yang menempatkan guru sebagai satu-satunya sumber pengetahuan. Siswa kini memiliki akses tak terbatas ke data. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar "Apakah pengetahuan yang diperoleh dari AI sama validnya dengan pengetahuan yang dibangun melalui proses berpikir mandiri?".

Jean-Jacques Rousseau, salah satu pemikir yang memengaruhi konstruktivisme menekankan pentingnya pengetahuan yang diperoleh secara mandiri bukan yang diajarkan secara dogmatis. Dalam karyanya, ia menulis "Janganlah mengajar dia ilmu-ilmu yang tak ada manfaatnya, biarkan ia tahu segalanya karena ia melihatnya sendiri". Kutipan ini sangat relevan di tengah banjir informasi dari AI. Oleh karena itu, tugas pendidik adalah membantu peserta didik membangun pemahaman yang otentik dan kritis, alih-alih hanya mengandalkan informasi yang dihasilkan secara instan. Peran guru pun bergeser dari "penyampai pengetahuan" menjadi "kurator" dan "fasilitator" yang membimbing siswa dalam menavigasi dan memverifikasi kebenaran. Ini menuntut perubahan besar dalam metode pembelajaran dari sekadar menghafal menjadi menganalisis, mengkritisi, dan memverifikasi informasi.

3. Aksiologi Pendidikan: Krisis Moral dan Tujuan Pendidikan yang Terabaikan

Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios (nilai) dan logos (ilmu/kajian). Jadi, aksiologi merupakan ilmu tentang nilai khususnya nilai kegunaan ilmu pengetahuan. Sederhananya, aksiologi adalah ilmu tentang "nilai". Dalam pendidikan, aksiologi menjawab pertanyaan "Untuk apa semua pengetahuan ini digunakan? Apa tujuan akhir dari pendidikan?". Pertanyaan ini bukan sekadar retorika, melainkan pilar yang menentukan arah dan makna dari seluruh proses pendidikan. Tanpa pemahaman aksiologis yang jelas, pendidikan akan menjadi aktivitas hampa yang hanya berorientasi pada pencapaian tanpa makna.

Pandangan aksiologis yang berbeda akan menghasilkan tujuan pendidikan yang berbeda pula. Aksiologi pragmatisme yang sangat dominan di era modern menempatkan nilai utilitas dan efisiensi di atas segalanya. Dalam pandangan ini, tujuan utama pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk pasar kerja dan kontribusi ekonomi. Kurikulum dirancang untuk menghasilkan lulusan yang kompeten secara teknis, mampu bersaing, dan menjadi roda penggerak ekonomi. Sekolah-sekolah didorong untuk mengejar nilai ujian tinggi, peringkat universitas, dan tingkat serapan kerja, karena semua ini dianggap sebagai indikator keberhasilan yang paling valid. Namun, pendekatan ini sering kali mengabaikan dimensi etika dan spiritualitas yang lebih dalam. Di sinilah aksiologi idealisme masuk dengan tujuan yang jauh lebih mulia, membantu individu mencapai kesempurnaan moral dan spiritual, serta mengapresiasi kebaikan, kebenaran, dan keindahan. Bagi idealisme, pendidikan harus membentuk karakter, mengasah kepekaan emosional, dan menumbuhkan kesadaran diri. Tujuan akhirnya bukanlah untuk menciptakan "mesin" ekonomi, melainkan "manusia" seutuhnya.

Sayangnya, banyak sistem pendidikan saat ini terjebak dalam aksiologi pragmatisme yang sempit, di mana kesuksesan hanya diukur dari nilai akademik dan pencapaian ekonomi. Konsekuensinya kita menyaksikan peningkatan kasus krisis kesehatan mental, perundungan, dan ketidakmampuan berempati di kalangan pelajar. Kasus-kasus perundungan misalnya adalah bukti nyata bahwa ada sesuatu yang terabaikan dari pendidikan. Siswa mungkin cerdas secara kognitif, tetapi mereka kekurangan fondasi moral untuk memahami dampak tindakan mereka terhadap orang lain. Mereka diajari bagaimana menjadi pintar tetapi tidak diajari bagaimana menjadi manusia yang baik dan bertanggung jawab.

Kegagalan ini menunjukkan bahwa pendidikan telah mengabaikan tujuan aksiologisnya yang paling esensial yaitu pembentukan karakter. Paulo Freire, seorang filsuf pendidikan dari Brasil, menekankan bahwa tujuan pendidikan haruslah emansipatoris. Ia berpendapat "Pendidikan harus menjadi instrumen untuk membebaskan bukan untuk menjinakkan".  Aksiologi kritis ini relevan dengan kondisi saat ini yang mana pendidikan seharusnya tidak hanya membekali siswa dengan keterampilan teknis, tetapi juga dengan kesadaran moral, empati, dan keberanian untuk menentang ketidakadilan sosial. Mengembalikan keseimbangan aksiologis ini adalah tugas mendesak jika kita ingin pendidikan menghasilkan individu yang tidak hanya cerdas, tetapi juga beretika dan mampu memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.

Melalui analisis ontologi, epistemologi, dan aksiologi, dapat disimpulkan bahwa tantangan pendidikan kontemporer bukanlah isu teknis semata, melainkan manifestasi dari pergulatan filosofis yang mendalam. Pengaruh sekularisasi, yang memisahkan ilmu dari adab, telah mempercepat fragmentasi ini. Pergeseran kurikulum dari pengetahuan ke keterampilan (ontologi), adaptasi terhadap peran AI (epistemologi), dan urgensi pembentukan karakter (aksiologi) semuanya berakar pada pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang hakikat, perolehan, dan tujuan pengetahuan.

Memahami ketiga pilar ini adalah langkah awal yang esensial untuk merumuskan kebijakan pendidikan yang holistik dan berkelanjutan. Dengan mengintegrasikan kembali nilai-nilai moral dan etika, memberdayakan siswa untuk berpikir kritis di era digital, dan menyadari bahwa pendidikan adalah proses seumur hidup yang melampaui batas-batas ruang kelas, kita dapat membangun fondasi yang kokoh untuk pendidikan yang relevan, bermakna, dan transformatif.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun