"Tuh, urusin lah." Menunjuk sang anak, kemudian pergi begitu saja.
Pada akhirnya keributan itu lagi-lagi terus berulang, bahkan hampir setiap hari rumah diwarnai riuh ribut dari orang tuanya. Rumah yang seharusnya menjadi tempat tawa yang bahagia, justru menjadi penjara dalam kegelapan yang menciptakan luka. Mereka tidak pernah berpikir bahwa seorang anak yang tidak sengaja mendengar, melihat pertengkaran itu dapat menciptakan trauma pada sang anak.
"Ra, Amara sayangg," suara lembut nan menyejukkan tersebut membuyarkan lamunan Amara.
"Hmm, maaf-maaf. Gimana?" jawabnya spontan, sembari tersenyum seperti biasanya.
"Ada apa? Kamu memikirkan sesuatu?" tanyanya, khawatir. Kinan yakin ada sesuatu yang disembunyikan dari kekasihnya itu.
Amara menggeleng, ia hanya tersenyum dan mengaduk-aduk minumannya.
Suasana seketika hening sejenak, Kinan menatap Amara dengan dalam. Mencoba membaca sorot mata yang kian hari semakin redup.
"Gimana kalau kita ke pantai yuk," ajak Kinan tiba-tiba.
Amara menatap Kinan, senyum tipis terukir di bibirnya. Laki-laki dihadapannya ini, selalu bisa membuat hati Amara berdebar. Pengertian, kesabarannya, Amara merasa sangat beruntung mendapatkan sosok seperti Kinan. Bagaimana ajakannya yang tiba-tiba bagaiakan sebuah jangkar yang tiba-tiba dilemparkan ke tengah lautan badai dalam pikirannya. Kinan selalu tahu, cara menembus tembok tinggi yang Amara bangun di sekeliling hatinya. Mereka berdua seringkali menghabiskan waktu di pantai, seolah-olah ombak yang datang dan pergi dapat menghanyutkan sebagian kecil dari beban yang ia bawa. Amara berharap, ketenangan laut dapat menularkan pada jiwa-jiwanya
Dengan senyum yakin Amara mengangguk, membiarkan Kinan membawanya pada arah jalan yang penuh dengan kebahagiaan.
Di sepanjang perjalanan, Amara berusaha menyembunyikan kegelisahannya di balik senyum tipisnya. Ia menanggapi cerita Kinan tentang proyek kantornya, ikut tertawa ketika Kinan mengenang kejadian lucu di masa kuliah. Namun, pikirannya terus melayang pada kemungkinan terburuk.