"Petualang Amerika mendrop senjata dan granat untuk orang-orang Permesta Februari lalu," ucap Herlanda. "Pasti banyak tentara dibutuhkan ke sana. Ini lebih serius dari  Darul Islam."
"Aku nggak bisa bayangkan Kang, kalau ke Sumatera Barat misalnya membidik senapan ke orang-orang PRRI, ternyata  yang kena Medina atau kerabatnya Syafri. Mungkin juga Bang Daus. Atau ke Minahasa bertempur dengan Rinitje. Mereka juga tidak tahu Kang Herlanda di antara tentara pusat yang datang."
"Malah Daus sering menyelamatkan nyawaku. Ironis sekali aku menembak dia hingga meninggal," ucap Herlanda.
"Malah mau puasa lagi," kata Myrna.
Wanaraja, Garut, 11 Maret 1958, malam hari
Letnan Satu Herlanda  bersama satu peleton tentara didrop untuk membebaskan sebuah desa yang diduduki suatu gerombolan bersenjata.  Mereka diberangkatkan dari Bandung sore itu. Herlanda merasa lega tidak ditugaskan ke Sumatera atau Sulawesi.
"Kalau ini jelas musuh.  Kalau ke Sumatera atau Sulawesi bisa jadi teman kita juga masuk tentara," kata Sersan Satu  Made Ardana Yasa yang seolah tahu perasaan Herlanda.Â
"Apa lagi itu!" Â Dia menunjuk seorang bule di antara gerombolan itu dari jarak lima ratus meter. "Scmith? Desertir Belanda yang gabung dengan Kartosuwiryo?"
"Nggak itu Van Ham buruanku. Firasatku nggak beres semudah itu agar dirinya ditemukan berdasarkan informasi warga desa yang dilepasnya dan dia tidak kabur begitu? Tapi ini perintah."
Mereka membagi dua formasi. Yang satu dipimpin Peltu Jajang bergerak ke kiri mengepung desa.  Van Ham bahkan membiarkan  dirinya tampak di bawah nyala obor dan dia tertawa-tawa lalu masuk ke dalam sebuah rumah. Dia sepertinya tahu diintai dan masih terlalu jauh untuk ditembak.Â
Pasukan Jajang bergerak lebih dulu dan menyergap tiga penjaga, dalam tembak menembak ketiganya jatuh tanpa ada korban di pihak TNI.