Kami tertawa. Mawar merah mengajak kami segera menyingkir ke daeah rumpunan bambu agar tidak terlihat penduduk. Guru Minda segera berada di atas.Â
"Dedemit Saha?" tanya Hijau Daun.
"Yang kubaca di perpustakaan digital folkfor rakyat Bumi. Kerap saru dengan alien kita," jelas Melati Putih.
"Oke, kami terpaksa pergi. Hiyang Kucai menjaga kamu Nawang Wulan sampai kamu menemukan siapa pencuri pakaian terbang itu," ujar Mawar Merah memutus percakapan.
Sabrina kemudian memberikan senapan dan sejumlah peluru kepada Nawang Wulan. "Gunakan untuk bertahan sampai kami tiba!"
Dia yang terakhir naik ke atas  sambi menatap dengan tanggungjawab besar.  Aku tidak berlebihan menyebutnya sebagai Sabrina si pemberani, pelesetan Sabrina Sembrani.
Segera setelah mereka pergi, Aku membawa tas ransel dengan pakaian, bibit padi, beras Titanium dan menyimpan senapan inframerah di balik jubah kamuflase yang aku lipat hingga tidak tampak dari luar. Â Sementara Hiyang menghilang dengan kamuflase tapi mengawasiku. Aku harus ke kampung. Kalau perlu mendapatkan pakaian seperti warga kampung ala Majapahit.
Aku kemudian  menelusuri jalan setapak yang memutar ladang yang sedang terbakar sambil melihat warga memadamkan api menuju kampung.  Tiga laki-laki dengan parang menghadangku.
"Wah, Cah Ayu  mau kemana?" kata seorang di antara mereka berbadan besar brewok.
Takut? Tidak. Aku hanya takut mengubah sejarah dengan membunuh mereka. Hiyang juga sudah bersiap-siap. Â Namun seorang pemuda tiba-tiba muncul menghajar ketiga perampok itu dan perkelahian singkat membuat mereka terkapar.
Syukurlah. Aku tidak perlu membunuh. Prajurit kerajaan Majapahit muncul berapa saat kemudian dan meringkus mereka.