Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Infeksi Cacingan Ancaman Masa Depan, Imbas Perubahan Iklim

27 Februari 2024   10:31 Diperbarui: 27 Februari 2024   11:11 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Dinas Kesehatan Provinsi NTB

Pernah dengar iklan obat cacing dengan penyataan: "Anak Ibu Cacingan?".  Gangguan kesehatan sejak zaman baheula yang masih saja jadi masalah di zaman now ini.  Bahkan kemungkinan anak ibu cacingan tetap akan ada di masa depan dan lebih parah.

Loh kok bisa, bukankah harusnya pengobatan lebih baik? Bisa, menurut kesimpulan tim internasional yang dipimpin peneliti dari Universitas Pennsylvania karena seiring dengan perubahan iklim dalan studinya yang dirilis di Ecology Letters, 25 Februari 2024.

Perubahan iklim bukan hanya menyebabkan kenaikan suhu, tetapi juga kelembapan.

Tim Peneliti mengembangkan model untuk mengkaji bagaimana cacing parasit, khususnya spesies yang menginfeksi ternak dan satwa liar, merespons perubahan suhu dan kelembapan.

Mereka juga mengamati bagaimana variabel-variabel tersebut dapat mempengaruhi risiko infeksi dan berkembangnya penyakit panas baru. tempat di masa depan.


Temuan ini, yang mungkin menunjukkan perilaku serupa pada cacing yang menginfeksi manusia, dapat memandu perbaikan dalam pengelolaan ternak dan intervensi kesehatan masyarakat di daerah endemis.

Guru Besar Biologi di Penn State dan penulis senior studi Isabella Cattadori tersebut mengatakan kita  perlu memahami bagaimana perubahan iklim dapat mempengaruhi masa depan infeksi ini

"Apakah kondisinya akan menjadi lebih buruk? Apakah mereka akan berpindah ke habitat lain dan menciptakan titik api baru? Akankah mereka bermutasi dan berkembang menjadi infeksi yang lebih patogen?" ujar Cattadori seperti dikutip dari situs Universitas Pennsylvania

Cacing Parasit Menginfeksikan 25 Persen Populasi Dunia

Cacing parasit, khususnya cacing yang ditularkan melalui tanah, umum terjadi dan menginfeksi sekitar 25% populasi manusia global, menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Mereka juga merupakan sumber utama penularan pada hewan, sehingga menyebabkan kerugian ekonomi yang besar bagi industri peternakan.

Cattadori menyampaikan  studi tentang iklim dan infeksi biasanya mengamati penyakit yang dibawa oleh vektor seperti nyamuk dan kutu.

Studi  mengabaikan dampaknya pada  infeksi cacing. Mungkin hal ini  karena penyakit ini tidak terlalu mengancam seperti penyakit yang ditularkan melalui vektor. "Masyarakat cenderung meremehkan pentingnya infeksi cacing," kata Cattadori.

Lebih lanjut, dia  menjelaskan bahwa sebagian besar penelitian berfokus pada suhu, dan hanya sedikit yang mempertimbangkannya.

Cattadori mengungkapkan variabel terkait iklim lainnya, seperti kelembapan, sebagai pemicu infeksi.

Siklus hidup cacing yang ditularkan melalui tanah memiliki dua fase -- tahap hidup bebas sebagai telur dan larva di lingkungan dan tahap dewasa di dalam inang.

Para peneliti berusaha memahami bagaimana tahap hidup bebas dipengaruhi oleh iklim.

Mereka meninjau literatur ilmiah terkini untuk mengumpulkan data tentang pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap telur cacing dan tahap larva dari sembilan spesies cacing yang umumnya menginfeksi ternak dan satwa liar.

Spesies-spesies ini kemudian dibagi menjadi dua kelompok tergantung di mana mereka tinggal di inangnya: cacing yang hidup di perut dan cacing yang hidup di usus.

Berdasarkan informasi tersebut, mereka mengembangkan model matematika untuk menggambarkan bagaimana penetasan cacing, perkembangan dan kematian setiap kelompok cacing merespon suhu dan kelembaban.

Mereka kemudian menerapkan model ini untuk melihat proyeksi risiko infeksi di masa lalu dan masa depan dalam berbagai skenario perubahan iklim di Eropa Selatan, Tengah, dan Utara.

Risiko Cacingan Sampai 2100

Untuk proyeksi masa depan, mereka mempertimbangkan skenario jangka pendek, dar i2041 hingga 2060, dan jangka panjang, dari tahun 2081 hingga 2100.

Peneliti pascadoktoral di Penn State dan penulis utama studi tersebut  Chiara Vanalli menyatakan pihaknya tidak hanya melihat korelasi atau hubungan linier antar variabel.

"Kami menguraikan bagaimana setiap komponen tahap hidup bebas dipengaruhi oleh kondisi iklim, mengembangkan pemahaman mekanistik tentang bagaimana cacing merespons tekanan lingkungan ini," kata Chiara.

 Hal ini penting untuk memahami apa yang mungkin terjadi di masa depan.  Penelitian ini merupakan salah satu penelitian pertama yang melihat interaksi antara berbagai variabel iklim pada berbagai spesies cacing parasit untuk memahami bagaimana faktor-faktor ini dapat mengubah profil musiman penularan penyakit, serta kapan dan di mana pola-pola ini mungkin muncul.

Para peneliti menemukan bahwa tidak semua spesies parasit berperilaku sama. Bakteri yang berada di usus inang sangat dipengaruhi oleh suhu, sehingga risiko infeksi tertinggi mencapai 50 derajat Fahrenheit.

Sebaliknya, cacing yang berada di dalam perut merespons kelembapan dengan kuat, mencapai puncaknya saat kelembapan 80% atau lebih tinggi.

Eropa Berisiko Tinggi Cacingan di Masa Depan

Ketika para peneliti mengamati pola musiman di seluruh Eropa, mereka menemukan bahwa secara historis, risiko infeksi memiliki satu atau dua puncak pada musim semi dan musim panas untuk kelompok usus dan satu puncak untuk kelompok perut.

Namun, di masa depan, mereka memperkirakan puncak ini dapat berubah."Intensitas puncak-puncak ini dan cara peralihannya akan bergantung pada lokasi dan kondisi iklim spesifik serta jenis spesies cacing," kata Vanalli.

Tren dua musim, dengan satu puncak pada musim semi dan satu lagi pada musim gugur, diperkirakan akan semakin intensif dalam kasus cacing usus, sedangkan cacing perut kemungkinan besar akan mempertahankan puncaknya pada musim panas, terutama di wilayah utara.

Para peneliti juga mempertimbangkan bagaimana distribusi spasial juga dapat berubah. Secara historis, risiko infeksi rendah di Eropa Utara.

Namun, ketika para peneliti melihat ke masa depan, mereka menemukan bahwa titik panas infeksi akan bergeser ke utara, hal ini disebabkan oleh iklim yang semakin sejuk di wilayah tengah dan utara, sementara wilayah selatan akan mengalami suhu yang lebih ekstrem dan kondisi yang lebih kering.

Dalam jangka panjang, negara-negara Skandinavia diperkirakan akan mengalami risiko terbesar di antara kedua kelompok cacing tersebut, hingga peningkatan 100% untuk spesies usus dan 55% untuk spesies lambung dibandingkan dengan negara-negara lain di benua ini.

Terlebih lagi, peningkatan risiko infeksi yang drastis di wilayah lintang menengah hingga tinggi kemungkinan besar akan meningkatkan risiko koinfeksi karena berbagai spesies cacing dapat berkembang biak secara bersamaan.

Dengan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana hewan terkena infeksi ini dan potensi perubahannya di masa depan, temuan ini dapat mengarah pada pengembangan pengelolaan ternak yang lebih baik dan strategi pengendalian pencegahan, kata para peneliti.

Dinamika yang dijelaskan para peneliti juga dapat menjelaskan potensi risiko bagi kesehatan manusia karena beberapa kelompok keluarga yang diteliti mencakup parasit yang juga menyerang manusia.

"Kita perlu mulai memikirkan bagaimana menyesuaikan strategi kita dengan dunia yang iklimnya sedang berubah," pungkas  Cattadori.

Kondisi  Cacingan Indonesia

Bagaimana kondisi cacingan di Indonesia? DR. Qori Amanda dalam tulisannya di Alomedika mengungkapkan data terkait kondisi terkini infeksi parasit, termasuk kecacingan, di Indonesia masih sangat minim. https://www.alomedika.com/cme-skp-kondisi-terkini-infeksi-cacing-di-indonesia

Padahal, tulisnya dengan kondisi iklim tropis yang hangat, faktor sosioekonomi yang kurang, dan tingkat pendidikan yang masih rendah, infeksi cacing diperkirakan masih tersebar luas di berbagai wilayah di Indonesia.

Terdapat setidaknya empat jenis penyakit infeksi cacing yang masih ada di Indonesia, yakni filariasis, taeniasis, schistosomiasis, dan penyakit cacing tanah.

Filariasis limfatik hampir selalu bisa ditemukan di seluruh provinsi Indonesia dengan rentang prevalensi antara 0,5 hingga 27,6%. 236 kota dalam 514 distrik di Indonesia masih tercatat menjadi daerah endemis filariasis.

Pada 2018 dilaporkan terdapat sebanyak 10.681 kasus kronis filariasis. Provinsi Papua menjadi provinsi dengan jumlah kasus kronik tertinggi dengan 3.615 kasus, diikuti Nusa Tenggara Timur dengan 1.542 kasus, Jawa Timur dengan 781 kasus, Papua Barat dengan 622 kasus, dan Aceh dengan 578 kasus.

Irvan Sjafari

 Foto: Dinas Kesehatan Provinsi NTB

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun