Dalam sebuah penelitian yang diterbitkan Oktober lalu, ahli mikrobiologi Rita Colwell dari Universitas Maryland di College Park dan rekan-rekannya menunjukkan bahwa badai mematikan telah menyebabkan lonjakan spesies berbahaya bakteri Vibrio yang kebal antibiotik  di perairan di lepas pantai Florida.
"Angin kencang menyedot nutrisi dari sedimen laut tempat bakteri berkembang biak", kata Colwell.
Selain kerusakan fisik yang disebabkan oleh cuaca ekstrem, para peneliti juga mengeksplorasi bagaimana kenaikan suhu akibat perubahan iklim dapat memengaruhi penyebaran bakteri resistensi antibiotika.
Pada November 2022, ahli mikrobiologi Lianping Yang di Universitas Sun Yat-sen di Guangzhou, Tiongkok, dan rekan-rekannya melaporkan prevalensi tiga bakteri di balik infeksi rumah sakit yang resisten terhadap antibiotik.
Ketiga bakteri itu adalah Acinetobacter baumannii, Klebsiella pneumoniae, dan Pseudomonas aeruginosa.
Para peneliti mencari hubungan antara suhu dan bakteri resistensi antibiotik dengan membandingkan data bakteri.
Data itu dikumpulkan dari orang-orang yang dirawat di rumah sakit di 28 provinsi dan wilayah di Tiongkok, dengan informasi tentang suhu udara rata-rata di kota-kota di wilayah yang sama.
Tim tersebut mengoreksi faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tingkat resistensi obat, termasuk tingkat konsumsi antibiotik, kelembaban rata-rata, curah hujan tahunan dan kepadatan penduduk.
Mereka menemukan bahwa, untuk setiap kenaikan suhu udara rata-rata sebesar 1 C, terdapat peningkatan sebesar 14% pada proporsi sampel yang mengandung K. pneumoniae yang resisten terhadap jenis antibiotik yang disebut karbapenem.
Obat-obatan ini biasanya digunakan untuk mengobati bakteri yang resisten terhadap semua antibiotik lainnya.
Yang dan rekan-rekannya juga mengaitkan peningkatan suhu udara rata-rata sebesar 1 C dengan peningkatan 6% pada proporsi sampel yang mengandung P. aeruginosa yang resisten terhadap karbapenem.