EMPAT
Malam itu para mahasiswa berkumpul di ruang tamu. Dudi dan Puti dengan cepat akrab bermain bersama di kamarnya. Â Aku dan Sundari memandang mereka dan tersenyum. Kami memutuskan untuk ke roof menghirup udara malam. Ponsel kami sudah pukul 11 malam. Â Tapi posisi bulan sepertinya baru pukul sembilan malam.
Begitu tenang. Â Berkali-kali kami melihat di layar ponsel bahwa sebetulnya ada tiga bulan bersinar cemerlang. Â Aku ingin mengajak Sundari bicara, tetapi yang anak itu hanya diam saja. Â Tampaknya tidak ingin diajak bicara.
Terdengar suara burung begitu merdu. Sepertinya mendekat pada kami. Â Sundari menepuk pundakku melihat dua burung berbulu biru mengkilat ditimpa cahaya bulan hingga di pagar atap.Â
"Mirip seperti burung yang kita tolong dari jerat waktu di Patahan Lembang. Apa sebetulnya kita masih di Bandung?"
Kedua burung itu menatap kami begitu tajam beberapa saat. Â Lalu Sundari menghampiri mereka dengan hati-hati dan kedua burung itu tidak terbang dan sepertinya merasa tidak terganggu. Â Termasuk ketika kami juga memegang pagar memandang ke arah bawah yang sunyi. Burung-burung itu bersiul seolah ingin menghibur kami.
Dia kemudian memasang headset dan mendengar beberapa lagu dari ponselnya. Â Kemudian dia mengajakku ikut mendengarkan beberapa lagu melalui sebelah headsetnya. Â Ada lagu populer Turki, Korea hingga lagu band Bandung.
"Selera kamu kosmopolitan," kataku.
"Kang Rivai lebih hebat, suka lagu lintas zaman dari  Bimbo, KSP, Cokelat, Mocca,Yura Yunita, bahkan penyanyi Tiara Putri Effendy dan  semua penyanyi dan  musisi Bandung," ucap Sundari. "Ada apa nih? Suka sama cewek Bandung?"
Sialan. Anak itu menyindir telak.