Aku dan Sundari berpandangan, kontur tanah masih persis sama. Â Dudi dan Puti mencolek aku dan kemudian Sundari menunjuk ada jejak kaki besar di samping kami. Tetapi tidak ada yang terlihat. Â
"Mereka mengawasi kita," bisik Sundari.
"Atau mengawal kita? Kalau mereka bermaksud jahat, sudah dari kemarin mereka lakukan sesuatu? Ini tidak! Malah mengusir kita dari atap, karena  ada sesuatu yang mengincar kita."
"Betul juga," sahut Sundari.
Kemudian jejak kami itu menghilang. Yang ada hanya dua ekor burung berbulu biru mengkilat yang kemarin kami lihat bertengger, kami diam dan terbang mengikuti kami berjalan.
"Burung-burung itu? Jangan-jangan mereka menyaru jadi burung?" Aku nyeletuk. Sundari tidak menjawab.
Kami  melihat curug omas, tandanya Maribaya sudah dekat. Jembatan masih ada, harusnya nanti bertemu gerbang dan sebelum ini sejumlah rumah makan. Tetapi tidak ada bangunan, sama seperti di sepanjang jalan setapak tidak ada saung.
Gerbang Maribaya ada di atas dengan jantung berdebar kami mendaki. Di depan ada Neisia, yang dianggap paling berpengalaman mendaki gunung. Â Hari makin terang. Begitu kami tiba di atas bukan Maribaya yang kami lihat, tetapi hutan bambu. Â Jelas, tidak mungkin Maribaya diubah begitu saja menjadi konservasi bambu.
"Mengapa bambu?" tanya Dina.
"Dipercaya menghasilkan oksigen dalam jumlah besar," jawab Neisa. "Hutan bambu luas sekali dan siapapun yang menanamnya bermaksud agar tersedia oksigen yang cukup untuk kota Bambu.