Mohon tunggu...
irvan sjafari
irvan sjafari Mohon Tunggu... Jurnalis - penjelajah

Saat ini bekerja di beberapa majalah dan pernah bekerja di sejumlah media sejak 1994. Berminat pada sejarah lokal, lingkungan hidup, film dan kebudayaan populer.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Guru Minda (12) Munculnya Manuk Dadali

28 September 2020   21:24 Diperbarui: 28 September 2020   21:28 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Ceritaduniaanak.com

DUA BELAS

Seminggu  kemudian Indrajaya diadili di Balairung Istana. Purbararang menyaksikan dengan sedih suaminya menjadi orang yang begitu pengecut. Wajahnya pucat dan sering menangis.  

Dewan hakim yang mengadilinya mendakwanya membunuh  orang secara keji dan bukan dalam peperangan, perubudakan hingga perdagangan perempuan.  Purbararang  mengaku baru tahu banyak kebijakan yang dilakukannya di belakangnya oleh suaminya.

"Kalau soal penculikan perempuan untuk kebutuhan orang asing, abdi tidak tahu," ujarnya sambil menangis.

Sementara Purbaendah dan aku jadi saksi pembunuhan yang dilakukan terhadap kakak Jumhana bernama Hasta Jaya.  Jumhana pun memberikan kesaksian.  Saksi lain berdatangan, Indrajaya memerintahkan pembunuhan terhadap lebih dari tiga puluh tahanan tanpa pengadilan dan sebagai kesenangan.  Saksi lain membeberkan pembantaian terhadap puluhan penduduk sebuah desa yang sebetulnya tidak melawan. Indrajaya tak ubahnya seperti Jenderal Nazi.

Purbasari punya hak untuk meringankan hukuman akhirnya menyetujui usulan Patih Barata untuk menghukum Indrajaya seumur hidup dalam pembuangan di tempat terpencil dan dijaga ketat. Sekali-sekali Purbararang boleh menengoknya.

Begitu juga para eksekutornya. Kami memang tidak menerapkan hukuman mati.  Purbasari juga tidak setuju, walau hukum di Pasir Batang ada hukum penggal yang kerap dilakukan Indrajaya yang mempengaruhi Purbararang.  Dia dibawa siang itu juga bersama eksekutornya. Dia hanya bisa tertunduk sedih, tak berani menatap mata siapapun, termasuk istrinya.

Yang paling menggelikan Brutus, panglima perang Indrajaya.  Tubuhnya yang tinggi besar itu gemetar, karena hanya tinggal dia perwira yang masih hidup. Dia bercerita asalnya dari Pegunungan Ural dan pergi ke berapa negeri mengadu nasibnya sebagai tentara sewaan.

Dia seperti ronin mengabdi pada siapaun yang membayar. Dia sudha menghamba kesejumlah warlord. Dia tidak tahu apa itu negara, karena sejak kecil tidak ada negara di sana.

"Kasihan juga," bisik Samuel.

Pemeriksaan terhadap Brutus  menunjukan dia hanya tentara dan hanya membunuh prajurit dan tentara dalam pertempuran, tidak terlibat pembunuhan  orang sipil. Patih Barata yang jadi kepala hakim berbisik pada Sunan Ambu dan aku. "Enaknya dihukum apa ini?"

"Suruh pergi saja!" teriak Samuel.

"Ah, betul itu!" sahut hadirin.

Brutus dan tentara asing, serta pengusaha sawit dan emas  yang menyerah dipulangkan dengan kapal yang berlabuh di Kulon. Faisal dari Kabandungan menyebutkan, kapal diberi bekal dan bahan bakar untuk berlayar entah ke mana. Mereka hanya diberi senjata tajam. Kami memperlakukan mereka secara satria dan hormat.

                                                                                  ****

Purbaendah diberi pengampunan, apalagi dia bersama Bagus terbukti membantu mengalahkan Indrajaya pada beberapa bulan terakhir.  Di pengadilan malah terungkap mereka berdua yang membantai pasukan Bakthansar ketika aku akan mematahkan kakiku dan membunuh Purbaleuwih. Berarti kerajaan utang nyawa.

Hanya Purbaendah pernah menjadi panglima perang, sekalipun terlibat dalam pemungutan pajak secara paksa. Dia hanya diminta mengakui.  Dia dibebaskan tetapi tidak boleh menjabat apa pun. Yang membuat aku terpukau wajahnya sama sekali tenang. Bahkan dia melirik kekasihnya, yang sudah jadi suaminya,  Bagus sambil senyum-senyum.

Purbaendah juga menolak mengajukan Subarja sebagai orang yang harus diadili.

"Itu tanggungjawab Aing, Tuan Hakim," katanya. "Subarja, abdinya Aing."

Uwak Barata malah terkesan karena Purbaendah bersifat satria.  Subarja dan tiga perwiranya, masing-masing Prapanca, Tantra dan Yoga dihukum seperti Purbaendah, bebas, tetapi dicabut hak jadi prajurit.

Keempatnya hadir di pengadilan tanpa menunjukan ekspresi ketakutan bahwa masa depannya suram.  Purbaendah dan Bagus malah menyalami mereka.

Bagus Sucahyana? Kami tidak punya alasan membuat dia bicara di pengadilan. Tidak ada saksi yang melihat dia ikut melakukan dukungan terhadap aksi Indrajaya. Malah dia membantu kami.  Masalahnya kami juga tidak bisa mendesaknya, untuk menceritakan apa yang dilakukan bersama Purbaendah dan sekondannya.  Tidak ada hukum itu, karena apa yang dilakukannya belum tentu kejahatabn.

"Sudah kasih tahu saja apa itu Manuk Dadali!  Anjeun jangan penasaran, keumaha," pinta Mamo, ketika pengadilan buat mereka berdua usai.

Bagus dan Purbaendah dengan santai menjawab serempak: "Nanti kami kasih tahu!"

Atep Firman dan Zia juga diomeli oleh Ambu pergi tanpa bilang-bilang.  Yang jadi pertanyaan pesawat yang membawa mereka diparkir di mana dan Manuk Dadali di mana.  Tapi lima orang itu bungkam.

Kerajaan hanya meminta mereka berpakaian seperti orang Pasir Batang. Kelimanya menurut. Kami juga melakukan hal sama untuk kearifan lokal.  Kecuali kalau mereka ingin kembali ke Kabandungan. Tetapi Purbasari ingin mereka tetap ada di istana untuk perayaan berkumpulnya kembali para saudaranya.

"Bagus hanya cerita pergi dari Titanium dengan Guru Minda 21. Itu pesawat sedang yang bisa membawa lebih dari penumpang minimal, berikut muatannya. Taruhlah bawa barang untuk keperluan agenda mereka di sini.," ujar Samuel.

"Bagaimana kalau mereka tidak berempat kemari? Lagipula pilotnya siapa? Zia memang bisa jadi pilot, tetapi siapa co pilotnya. Guru Minda untuk ukuran besar butuh co pilot, kecuali pesawat yang dulu aku bawa," sahut aku.

Ambu mengangguk. "Aneh memang.  Kalau ada orang Preanger Titanium lain, mengapa mereka tidak bergabung waktu di Dago Atas dan kalian lihat aneh. Mereka hanya ketawa-ketawa waktu dibawa kemari."

"Mereka pasti bawa Co Pilot yang juga militer untuk berjaga," kata Samuel. "Di mana gerangan mereka berada?"

Teteh Ira dan teteh Mayang senang bisa bertemu kembali dengan Kanaya. Mereka juga tidak peduli peran Kanaya dalam konspirasi itu. Kapten Gumilar yang sudah tua, mengaku berumur lebih dari 70 tahun juga tidak menjawab. Kalau pun mnejawab: "Lupa!"

"Senior, akan kembali ke Titanium?" itu yang tanya Serma Malik.

"Nggak abdi mah mau di sini, abdi cinta tanah ini dan ingin mati di sini," jawabnya.

Kini aku bisa salat dengan orang-orang Titanium, termasuk Bagus, Atep dan Zia. Kapten Ginanjar jadi imam. Ada berapa orang Pasir Batang dan Kabandungan juga ikut.

                                                                                            

Ilustrasi-Foto: Cerita Bilffist.
Ilustrasi-Foto: Cerita Bilffist.
Dua Malam kemudian Istana Pasir Batang menggelar pesta kembalinya perdamaian.  Ketujuh bersaudara dan para tamu termasuk kami mendengarkan pertunjukan musik dari Tika Dayanthi dan anak asuhnya, sambil menikmati hidangan.  Orang-orang di Kabandungan yang membantu kami juga diundang.

Tika Dayanthi menyanyikan lagu cinta yang diplesetkannya menyindir aku terpikat Purbasari. Muka aku dan Purbasari merah mukanya. Tetapi Bagus dan Purbaendah tenang-tenang saja di sudut sambil meneguk minuman. Padahal sindiran juga untuk mereka.

Yang membuat aku geli, semua perempuan di sini bergaya rambutnya walau pakaiannya Pasir Batang dan menarinya juga energik. Pasti ajaran Rima Talisa. Begitu juga perempuan-perempuan dari Kabandungan.  Samuel diajak berdansa oleh Jane Tamahela, milisi Kabandungan.  Dia sudah bertemu jodoh rupanya.

Hanya Raya yang tampak menyendiri dan dingin.  Tetapi dia menyaksikan dengan tekun. Apalagi ketika Zia naik panggung dan mulai ngerock.

Tamu dari Kabandungan tertengun. "Kami pernah mendengar lagu itu  dari sebuah toko, tak sengaja menekan tombol! Sebuah grup musik dari Ujungbereung!" sahut seorang tamu.

Setelah Zia menyanyikan tiga lagu. Bagus dan Purbaendah berbisik pada MC, yang kebetulan dijabat oleh Purbadewata. "Ah, yang benar? Anjeun mau menyanyi?"

Purbaendah naik ke panggung dan menyanyikan sebuah lagu yang pernah aku dengar di Titanium. Pasti Bagus yang mengajarkan atau Zia? Namun itu bukan lagu Zia dan setahu saya Bagus juga penggemar Zia.

Purbaendah menyanyikan lagu ini dengan lagu yang manis, bertema cinta dengan ceria tentang seorang perempuan salah tingkah.  Kosa kota yang tidak dikenal perempuan Pasir Batang, tetapi orang Kabandungan ada yang tahu.

"Ambu akui, dia sangat pintar," kata Ambu padaku.

Raya bertepuk tangan pertama kali.  Dia mengacungkan jempol. "Setelah ini lagu kita, ya!"

Purbasari dan saudari-saudarinya terpukau. Mereka tidak menyangka Purbaendah bisa menyanyi. Begitu juga para pejabat istana.  Purbaendah menyelesaikan lagu pertamanya dan kemudian lagu keduanya.

"Ini spesial untuk Kang Bagus, Teteh Raya, Kang Atep, serta Teteh Zia," ucapnya. Lalu dia mulai menyanyi dalam bahasa Sunda. Lagu yang ada di perpustakaan Preanger, tetapi jarang didengar.

Mesat ngapung luhur jauh di awang-awang/Meberkeun jangjangna bangun taya karingrang/Sukuna ranggaos reujeung pamatukna ngeluk/Ngapak mega bari hiberna tarik nyuruwuk.

"Maksudnya nyindir kita nih, melupakan jati diri?" Serma Malik berbisik pada kami.

Ambu menyimak dengan serius.

Manuk Dadali manuk panggagahna/Perlambang sakti Indonesia Jaya/Manuk Dadali pangkakon carana/Resep ngahiji rukun sakabehna

Hirup sauyunan tara pahiri-hiri/Silih pikanyaah teu inggis bela pati/Manuk dadali ngandung siloka sinatria/Keur sakumna Bangsa di Nagara Indonesia.

Purbaendah menyanyikannya ceria tetapi serius dan penuh semangat.  Semua yang mendengar tertengun. Dia turun panggung, mulanya hanya empat sekondannya itu bertepuk tangan, namun kemudian kami semua bertepuk tangan. Untuk pertama kali Raya bereaksi hangat, dia memeluk Purbaendah begitu turun panggung, setelah menyalaminya.

"Musik ini didengar di luar istana?" bisik Ambu.

"Ialah, aku yang mengaturnya dan menggunakan speaker yang kita bawa dari Titanium," kata mekanik kami.

"Ada apa Ambu?" tanya aku.

Ambu mempunyai firasat entah apa.

Lagu Purbaendah jadi penutup acara pesta perdamaian itu. Namun lagu itu jadi pembicaraan orang Pasir Batang karena pertama kali mendengar kata Indonesia. Faisal dan Rani menarikku.

"Kami tahu soal Indonesia, tapi kita tidak lagi apakah masih bisa lanjut," ucap Faisal pada aku dan Ambu.

Purbaendah disambut meriah oleh saudari-saudarinya, termasuk Purbasari.  Mereka tampak berbincang-bincang entah apa dan tertawa bersama.

Bagus, Raya, Atep dan Zia mengawasi dari jauh mereka berkumpul. Entah apa yang mereka rencanakan.

Kami tidur menjelang tengah malam.  Bagus tentunya bersama Purbaendah. Mereka memincingkan mata kepada aku dan Purbasari serempak meletakan tangan di mulut lalu melepas seolah memberi salam.

Hujan turun dengan lebat  membuat kami tidur nyenyak.

                                                                                                             ***

"AA Guru bangun! Purbaendah dan kawan-kawan Akang meninggalkan istana!" teriak Purbasari.

Aku terbangun dengan terkejut, sinar matahari menerpa dari jendela.  Segera keluar kamar masih berpakaian tidur.  Sudah pukul sembilan pagi.  Tak ada penjaga yang tahu karena mereka semua tertidur.

Kapten Samuel dan Panglima Gigin gusar bukan main. Sebab secara militer itu berbahaya. Total tidur semua hingga penjaga luar.  Aki Panyumpit memeriksa nadi seorang penjaga yang masih tidur. "Seperti biusan sumpit Aki, tetapi ini melalui asap."

Kamera pengintai virtual kami pasang sebetulnya-sayang alarm tidak- memperlihatkan beberapa orang masuk istana menggunakan masker, begitu juga Bagus, Purbaendah, Raya dan Atep hingga Zia.  Jelas itu jenis gas bius yang dibawa dari Titanium untuk membius mahluk-mahluk yang hendak kami buru.

Samuel tertawa. "Bravo! Bravo! Kalau secara militer, itu brilian. Pertanyaannya untuk apa mereka lakukan, bukankah mereka bisa pamit baik-baik?"

Dadung Baladewa muncul dengan tergesa-gesa.  Dia berada di luar istana, tidak ikut pesta, dia harusnya di Kabandungan karena ikut sekolah darurat di sana.

Dadung menyerahkan alat perekam virtual tiga dimensi kepada aku.

"Gedung Indonesia Menggugat pukul  setengah empat sore. Undangan terutama untuk anjeun Guru Minda dan tentunya kawan kita Kapten Samuel.  Ada berapa teman di sana. Bawa Purbasari sekalian. Barangkali terakhir bertemu kakaknya, Purbaendah."

Suara Bagus begitu teratur dan tidak tergesa-gesa.

"Gedung Indonesia Menggugat di Kabandungan masih ada?" tanya aku pada Faisal dan Rani yang juga datang dengan tergopoh-gopoh.

"Aya, " jawab Rani. "Selalu ada yang memelihara, seperti berapa bangunan. Kerap kotor dan kumuh. Tapi sejak  berapa bulan lalu bersih. Entah siapa yang membersihkan."

Samuel sebetulnya ingin memaki semua yang jaga. Tapi dia kagum, rencana begitu rapi.  Sabar. Lagipula kalau Bagus dan Purbaendah ingin memberontak terhadap Purbasari, mereka pasti menang dengan cara ini. Sejak awal.

"Dengan cara apa kau diantar kemari? Bukankah jarak Kabandungan kemari empat jam naik kuda, naik motor capung terbang atau jip terbang  setengah jam-an, paling cepat?" tanya Samuel lembut. "Tapi hujan lebat tidak bisa?"

Dadung menunjuk dari jendela istana. Sesosok berbentuk robot harimau di halaman istana disaksikan warga dan pengawal yang baru bangun dengan melongo.  Sebelum semua siap, dia dengan cepat melompat dan lari kencang.

"Naik itu, kata Kang Bagus, namanya Maung Bandung!"

"Astaga, mereka berhasil menciptakan Robot Harimau, dengan mengembangkan robot anjing," ujar Kapten Gumilar. "Sepertinya masih ada lagi?"

"Kok tidak ketahuan penjaga kota?" tanya Purbasari. "Benda sebesar itu?"

"Kami bisa hilang Ratu Purbasari," ucap Dadung polos.

"Kamuflase. Mereka berhasil menciptakan teknologi kamuflase seperti Hiyang. Pantas Manuk Dadali tidak tampak ditutup dengan teknologi kamuflase ada di suatu tempat di Bandung. Pengawal mereka juga sudah ada di istana dengan teknologi kamuflase, bahkan juga mengikuti kita waktu membawa mereka berlima," papar Ira.

"Pertanyaannya, mengapa tidak terus terang, memangnya kita penghalang?" kata Ambu.

Teteh Ira dan teteh Mayang saling berpandangan. "Kanaya di mana?"

"Sepertinya ikut mereka," ucap Kapten Ginarjar pasrah.

"Bagus dan timnya memberi kesempatan buat Kanaya berkumpul dengan para nininya, sekaligus mengembalikan Kapten Ginanjar dan Purbaendah berkumpul dengan saudarinya," aku menduga. "Sekitar seminggu waktunya,"

"Kata kawan Aa, jawaban pertanyaan itu diberikan di Gedung Indonesia Menggugat," kata Dadung polos.

Kapen Samuel duduk sambil tertawa. "Teknik kamuflase hebat. Kamera virtual kita tidak bisa menangkapnya. Yang diperlihatkan itu, karena  mereka ingin supaya kita tahu. Kau lihat pasangan centil kita melambai ke kamera."

Purbasari dan aku melihat Purbaendah dan Bagus berciuman lalu melambaikan tangan ke arah kamera, sebelum menutup wajah mereka dengan masker khusus.

Mereka tidak pakai capung terbang, tetapi Maung Bandung entah berapa buah dengan kecepatan tinggi.  Teknologi mereka melompat satu tingkat dari koloni di Prenager-Titanium. Tentunya digabungkan dengan pengetahuan teknologi dari Raya dari Kuantum, entah dari alien mana. Yang jelas mereka tidak puas dengan apa yang ada seperti kami di Titanium, tetapi terus belajar dan mencoba.

"Kalau perang antar planet seperti yang dikatakan Raya itu benar, mereka lah yang paling siap di antara manusia. Kita tidak! Apalagi Bumi ini!" tutur aku.

"Lalu mengapa mereka tidak mengajarkan kepada kita?" tanya  Serma Malik.

"Purbaendah sadar, kalau diajarkan membabi buta akan seperti Kang Indrajaya menggunakan semena-mena," jawab Purbasari. "Harusnya sejak lama aku menjadikan penasehat. Itu anak sensitif dan ingin didengar."

"Sudah mari kita ke Kabandungan, nggak ada pilihan lain, kan?" kata Kapten Samuel.

"Omong-omong kok mereka bisa menerobos hujan?" Mamo manggut-manggut.

"Perisai. Hujan tidak menyentuh mereka. Senjata saja tidak bisa.  Sudah bisa menghilang, pakai perisai lagi,"  ucap aku. "Kalau mau, mereka sudah menang perang. Jadi bukan Indrajaya yang memperalat dia, Purbaendah lah yang memperalat Indrajaya."

Samuel tergelak. "Siapa itu namanya Nyi Ronde dan gerombolan orang asing itu, nggak sadar mereka pecundang."

"Kalau Kak Purbaendah mau jadi Ratu, aku rela," ucap Purbasari. "Asal kita bersama?"

"Karena bukan itu tujuannya geulis!. Kalau dia mau jadi ratu, Indrajaya mah, sudah ditendang, juga kakaknya Purbararang. Sebelum Bagus datang, dia sudah punya sekutu Raya yang jauuuh lebih jago dari Nyi Ronde."

Samuel tergelak. "Geli, Indrajaya mengira mereka paling jago, di atas langit ada langit."

"Bagus dan Purbaendah juga tahu di atas langit ada langit dan mereka mencari tahu soal itu dan belajar di langit. Sejak aku bertempur dengan dia saat di dusun, dia sudah menyadari di atas langit ada langit."

"Sudah diskusi kepanjangan, kita ke Kabandungan," kata Kapten Samuel.

Purbasari berkeras ikut. Kami menggunakan empat jip terbang.

                                                                  ****

Tentunya kami ke Gedung Sate dulu. Di sana orang Kabandungan dan orang Pasir Batang yang ditempatkan di sana ramai membicarakan  beberapa mahluk enak berkeliaran di tengah Kota Bandung  malam hari. 

"Ada Maung raksasa dan Lutung sebesar manusia," kata seorang warga Kabandungan, Ayip melapor.

"Di mana mereka sekarang, sebelum ke Gedung Indonesia Menggugat?" tanya Kapten Samuel.

"Di mana saja. Mungkin juga di sekitar kita sambil tertawa-tawa melihat kita karena mereka pakai kamuflase," jawab teteh Ira yang sedih kehilangan lagi cucunya.

Seorang pedagang makanan lari terbirit-birit dari arah belakang gedung. "Ada  jurik. Habis makan hilang!"

Lalu kami melihat sesuatu yang tidak terlihat meninggalkan jejak di lapangan yang basah karena hujan. Tapak harimau.

"Terus, kita mau bilang apa? Yang pegang kendali mereka," kata Ambu. "Kita merasa jadi langit di atas mereka. Padahal tidak, merekalah di atas kita."

Lalu di mana Manuk Dadali itu?

Kami  sarapan sekaligus makan siang di sebuah rumah makan di sana. Kehidupan ekonomi mulai pulih, walau untuk sementara memakai koin emas hasil rampasan dari Rezim Indrajaya.

"Emas? Mungkin karena ini Purbaendah mau kerja sama dengan Indrajaya," kataku baru sadar. "Sebagian emas dari tentara Indrajaya dibajaknya."

"Bukan untuk uang, anjeun, mereka ingin buat Garuda Raksasa disepuh emas," kata teteh Ira.

Diputuskan aku, Purbasari, Samuel ke Gedung Indonesia menggugat.  Teteh Ira dan Teteh Mayang mengawasi dari jauh dengan teropong virtual siapa tahu ada Kanaya di situ.

                                                                                               

manuk-dadali-academic-indonesia-5f71f11b297d682b9e4352a2.jpg
manuk-dadali-academic-indonesia-5f71f11b297d682b9e4352a2.jpg
Kongkow Perpisahan di Gedung Indonesia Menggugat

Pukul setengah empat sore. Gedung Indonesia Menggugat benar-benar seperti yang kami punya di Preanger Satu, walau lebih tua karena otentik.  Hanya saja pembangunan Bandung sebelum eksodus besar-besaran ke planet lain  membuat satu gedung yang tinggi di belakang Bangunan Indonesia Menggugat menjadi tanda tanya. Tidak cocok untuk karakter Bandung.

Bangunan itu yang ditutupi daun-daun pasti terbengkalai  tampaknya, seperti gedung di alun-alun timur. Tingginya lebih dari seratusan meter. Mungkin juga proyek mangkrak pada zaman dulu.  

"Code Dress"  jersey Persib Bandung.  Kapten Samuel hanya geleng kepala. Purbasari jadi canggung. Tetapi aku menenangkannya. 

"Sok, atuh, masuk dalam gedung.  Jamuan sudah disiapkan!" suara Purbaendah terdengar dari dalam ketika kami di gerbang halaman.

Kami berlahan memasuki halaman dengan hati-hati.  Ada yang berbinar-binar di dekat pintu.  Kamuflase sudah dibuka, tampak Jumhana tersenyum dia mengenakan baju celana dengan nuansa emas dan topi kepalanya garuda di kepalanya.  Tangan kanannya ada sarung dengan senjata dari mulut garuda.  Entah apa yang ditembakan. Bagus dan timnya selalu punya kejutan.

Ketika masuk ke sebuah ruangan, kejutan sudah ada. Selain Bagus, Purbaendah, Atep Firman dan Zia berseragam Persib ada Rianto Nurdiansyah dan Windy Purnamasari juga berseragam Persib. Bukankah dia fans Barca?

"Kalian ngapain di sini, mau meliput? " Samuel terbelalak. 

"Diajak oleh Bagus, katanya ada liputan khusus buat kami," kata Rianto.

"Naik pesawat Guru Minda?"

Rianto dan Windy mengangguk. "Ada pilot lain juga, selain Zia,"

"Saha Bagus? Lagi di mana dia? Juga Raya?"

"Mempersiapkan sesuatu. Nanti kalian tahu."

Di  meja sudah tersedia hidangan mi Kocok dan bajigur.  Di sana ada layar televisi yang sudah tua tetapi bisa dihidupkan lagi dan ada pertandingan Persib melawan satu kesebelasan lokal entah dengan siapa. Siaran rekaman itu sudah disiapkan.

Purbasari mencolek aku. "Persib?"

Aku mengangguk. Kami duduk di sofa makan mie kocok sambil pertandingan Persib.

"Lah, ada Atep Firman?" celetuk Samuel.

"Otentik," jawab Atep.

"Mengapa tidak kerja sama kalau kalian membuat pesawat antariksa Manuk Dadali?" aku langsung bertanya sambil melihat Atep mencetak.

"Goooolll!" seru kami sama-sama.

"Sayang, kasih gambar itu pada mereka," pinta Bagus.

Purbaendah memberikan sebuah gulungan kertas. Aku dan Samuel membukanya sambil melihat pertandingan.  Gambar pesawat ruang angkasa berbentuk Garuda dengan skalanya.  Panjangnya seratus dua puluh meter dari ekor ke kepala, lebar bodi dua puluh lima meter dan tinggi bodi dua puluh meter.  Rentang sayap masing-masing lima puluh meter dengan lebar lima belas meter, dengan tinggi kaki dan cakar sepuluh meter.  Pesawat itu sepertiga pesawat transportasi pertama pionir Prenger yang mengangkut ribuan orang dari Gedebage berikut perlengapannya.

"Ah, gila ini seperti mengangkut satu kampung, apa muatannya?" Samuel berdecak kagum. "Lalu bagaimana benda sebesar itu disembunyikan di Kota Bandung? Kamuflase? Ah, tetap tidak mudah."

"Nanti kalian tahu," jawab Purbaendah.

Dia kemudian menyerahkan lagi sebuah denah. Ternyata Maung Bandung.  Panjang tujuh meter dengan lebar  120 cm dan tinggi berikut kaki tiga meter.

"Kami punya dua, satu untuk kalian ada di satu tempat di Kabandungan, yang harusnya kalian tahu di mana itu. Sebagai tanda perpisahan dari kami," baru Bagus menjawab.

Sesosok mirip lutung, dari logam didominasi cokelat dan emas muncul dalam ruangan.Tingginya 170 cm memakai semacam tongkat yang mungkin senjata. Robot lutung.

Aku dan Samuel, serta Purbasari agak ngeri melihatnya.

"Terinspirasi anjeun," kata Purbaendah tersipu. "Pengawal kami."

"Kami punya  tiga, dua kami bawa dan itu untuk anjeun Guru Minda sebagai kenang-kenangan," Bagus santai menerangkan.

Sementara Rianto dan Windy asyik dengan gadget mereka mencatat peristiwa ini. Rupanya sekaligus rilis jalan-jalan mereka ke Bumi. Tentunya berita besar bagi mereka, kalau pulang ke Titanium.

"Kalau mau memproduksi untuk pertahanan silahkan," kata Purbaendah sambil menyerahkan denah haril rancangan. "Tampaknya kalian akan perlu."

"Selain Maung Bandung, untuk transport kalian ada lagi?"

"Sepeda," potong Zia. "Sepeda yang sayapnya bisa dilipat, berikut sepedanya dengan baterai matahari lebih praktis dibanding motor capung terbang, karena bisa ditenteng. Selain bisa terbang, bisa berjalan di atas air seperti bebek karena dilengkapi kayuh dan pengapung."

"Kami bawa tiga belas sesuai dengan awak kami.  Untuk kawan Samuel satu, kawan Rianto satu, kawan Windy satu, kau dan Purbasari sudah dapat robot kan," kata Bagus."Paket ada di belakang."

Rianto dan Windy tampak senang.

"Memang kalian mau kemana?" Purbasari cemas.

"Goool!!! Persib unggul 2-0!" teriak Rianto memutusan percakapan.

"Saha, yang menciptakan?" tanya Bagus.

"Nggak lihat, mungkin Makan Kotane!"

Santapan mie kocok habis, Kami meneguk bajigur.  Seorang ibu tua dengan pakaian Persib juga mengantarkan ubi rebus.

"Terima kasih Mak Eti," kata Bagus sopan.

"Dia ikut?"  Aku nelihat perempuan tua yang menjamu kami waktu di Tangkubanparahu.                                             

"Ialah, juru masak kami. Urang Kabandungan. Keluarganya mati dibunuh orang-orang asing itu. Kami melindunginya."

Lalu Purbaendah menyerahkan beberapa denah lagi, sepeda dan Manuk Dadali ukuran kecil, pesawat pengintai sekaligus  sekoci. Pantas besar.

Pertandingan usai, Persib unggul dengan 3-0. Bagus menyalami Samuel, lalu aku. Purbaendah memeluk adiknya dengan mesra.  Lalu Bagus menyalami Samuel dan Windy.

"Mudah-mudahan kita bisa jumpa lagi."

Kami terperangah.  Kamuflase dimatikan dan di belakang gedung Indonesia Menggugat Manuk Dadali tegak berdiri dengan sayap dilipat, lalu kemudian mengepak sayap dan melayang. Daun-daun berjatuhan dengan cepat. Gedung yang kami kira dibangun serampangan itu kamuflase dari Manuk Dadali.

Bagian perut terbuka dan ada jalan virtual membuat Mak Eti, Purbaendah, Bagus, Atep dan Zia diikuti Jumhana  memasuki Guru Minda. Mereka seperti melayang lalu menghilang di dalam perut Manuk Dadali.

Teteh Ira dan Teteh Mayang berlari ke dalam dan bagian belakang gedung juga teperangah. "Kanaya!!"

Kemudian semacam hologram muncul, Kanaya muncul menghambur dan memeluk secara virtual dan lalu pergi melambai. "Selamat tinggal nini --nini tersayang, aku memutuskan ikut mereka."

Teteh Ira dan Teteh Mayang memandang dengan sedih. Sunan Ambu juga baru datang ketika Manuk Dadali melesat ke langit berwarna kemasan ditimpa matahari sore lalu melesat.  Kami menatap mereka. 

Petualangan Manuk Dadali dimulai. Manuk Dadali Ngembara. Pukul 17.30 menjelang matahari terbenam.  Pesawat berbentuk garuda itu, begitu gagah mengarungi langit hingga menghilang..  Aku tidak suka cara Bagus dan Purbaendah pergi, tetapi di sisi lain juga menghitung merekalah harapan umat manusia yang mungkin sedang terancam. Purbasari menitikan air matanya atas kepergian saudaranya. Samuel juga menangis sambil melambaikan tangan.

"Selamat jalan kawan,  sampai jumpa lagi."

Irvan Sjafari

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun