Mereka mendayung sekuatnya dan mereka sudah di tengah laut. Pulau itu sudah jadi koloni semut yang bermutasi karena radio aktif. Perang Dunia Ketiga memberi bencana lain.
Dua jam mereka terkatung-katung di tengah laut. Empat serdadu dan dua preman mendayung bergantian tanpa sempat membawa perbekalan. Mereka merasa beruntung melihat sebuah kapal, mungkin kapal barang.
Awak kapal itu melihat mereka dan menghampiri. Kapal itu berisi sembilan belas laki-laki dan enam perempuan berwajah Melayu dan sebagian lagi Indocina. Mereka memberikan minuman dan makanan tanpa banyak bicara, kecuali senyuman. Sebetulnya Christ Malcom tidak terlalu percaya pada mereka, tetapi ia tak punya pilihan.
Kedua preman itu tanpa malu-malu meneguk tuak yang disediakan di meja. Mereka lebih dulu mengambil nasi, sayuran nangka dan potongan ayam goreng. Akhirnya keempat serdadu itu mengikuti. Keenamnya makan dengan lahap.
Malcom satu-satunya yang merasa aneh melihat empat awak kapal mengelingi mereka, tetap tersenyum. Mereka menunggu sesuatu. Masalahnya ia merasa mengantuk dan ia sempat melihat kawan-kawannya jatuh satu demi satu terlelap.
Lalu terdengar derai sinis para penolong mereka. Malcom masih semaput ketika ia merasa tubuhnya diangkut dan dimasukkan ke dalam sebuah ruangan bersama teman-temannya.
Malcom tidak tahu berapa lama ia dibius. Di a tersadar ketika air dingin menyiramnya. Di mendapatkan dirinya dan lima rekannya terikat di sebuah tiang. Sudah larut malam. Dia merasa ada di suatu tempat di tengah hutan entah di mana.
Rekannya serdadu bule yang dipanggil Private Justine juga sama bingungnya. Mereka ada di atas panggung terbuat dari kayu. Sebagai seorang tentara Malcom harus membaca medan. Namun yang dilihatnya tidak pernah ditemuinya selama menjadi tentara.
Ratusan mungkin ribuan perempuan mengelilingi mereka. Empat di antaranya berada di atas panggung. Seorang di antara mereka bicara dalam Bahasa Melayu. “Dimulai dari yang ini kira-kira tiga puluh lima tahun, masih segar! Belum tercemar!”
“Budak Melayu itu! Seribu ringgit!” teriak seorang perempuan dengan wajah yang kasar menunjuk pada seorang anak buahnya seorang preman. “Kami tidak suka bule!”
Namanya Afrizal. Dia pernah ditahan di penjara ketika masih belasan tahun karena memperkosa seorang perempuan di angkot bersama tiga kawannya. Hanya kena lima tahun dan tidak membuatnya kapok di dunia kriminal hingga akhirnya bergabung dengan geng penyelundup. Dia menikmati hidup punya uang dan akhirnya main perempuan yang ia suka dari satu ke tempat lain. Sampai akhrinya ia tiba di pulau yang ia sangka penghuniya tidak melawan pasukan bersenjata.