Kematian remaja 15 tahun bernama Muhammad Syuhada yang ditembak oleh Kapolres Pelabuhan Belawan, AKBP Oloan Siahaan pada Minggu (4/4) lalu, menuai kecaman keras dari Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Sumatera Utara. KontraS menilai tindakan tersebut berpotensi menjadi preseden berbahaya dalam praktik penegakan hukum di Indonesia.
Selain itu, KontraS Sumut juga menegaskan pengusutan kasus penembakan itu-selain harus dilaksanakan dengan transparan dan profesional, pengungkapannya juga harus memperhatikan atau melindungi harkat, martabat serta rasa keadilan bagi korban dan keluarganya.
Pengusutan kasus juga harus dibarengi dengan standar dan ukuran penggunaan kekuatan yang bisa diakses serta dibuktikan kepada publik.
Standar dan ukuran tersebut bisa mengacu pada beberapa aturan konkret seperti Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkp) 1/2009 Tentang Penggunaan Kekuatan, Perkap 8/2009 Tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian, maupun PERPOL 1/2022 Tentang Perizinan, Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api.Â
"Jangan sampai korban dibunuh dua kali, satu kali dibunuh nyawanya oleh peluru polisi, kedua kali dibunuh karakternya melalui stigma yang dilekatkan, bahwa korban adalah pelaku tawuran yang pantas mendapatkan tindakan tegas dan terukur atau ditembak," tegas Koordinator Operasional KontraS Sumut, Adinda Zahra, Selasa (6/4).
Hal tersebut, lanjut Adinda, perlu ditegaskan sebab masyarakat harus berkaca pada banyak fenomena serupa yang kerap dialami oleh para korban penembakan personel kepolisian.
KontraS Sumut juga menyinggung, terkait dukungan publik terhadap personel yang menggunakan kekerasan dalam penegakan hukum ini hanya akan berkontribusi melahirkan aparat kepolisian yang dikemudian hari semakin 'ringan tangan' menggunakan senjata api.
"Dalam banyak kasus, cukup dengan pernyataan tindakan tegas dan terukur atau pelaku melawan saat ditangkap, asas-asas legalitas, proporsionalitas dan nesesitas yang harusnya jadi fondasi utama penggunaan kekuatan sering kali luput dari perhatian kita," jelasnya.
"Publik di Sumut harapannya untuk sama-sama mengawal proses pengusutan kasus ini," sambungnya.
Lebih lanjut, Adinda menyampaikan sikap KontraS Sumut bahwa mereka menolak penggunaan senjata api dalam pengendalian massa tawuran, bukan berarti KontraS Sumut mendukung kejahatan.
"Penggunaan kekerasan sama sekali tidak mengurai akar persoalan utama tawuran yang saat ini didominasi oleh mereka yang masih masuk dalam kategori usia anak," ujarnya.