Langit mendung menggantung di atas gedung DPRD Sumatera Utara (Sumut) pada Senin (5/4/2025) siang. Seolah menyatu dengan suasana hati para driver ojek online (ojol) yang memadati halaman gedung. Di antara kerumunan berjaket hijau itu, duduklah seorang perempuan paruh baya di trotoar jalan dengan wajah sayu dan mata sembab.Â
Namanya Delina. Perempuan berusia 35 tahun itu adalah seorang janda. Di tangannya, tergenggam erat sebuah poster karton lusuh, bertuliskan kalimat sederhana yang memuat jeritan hati: "Jangan jadikan kami sebagai budak aplikator."
Delina, yang tinggal di Kecamatan Medan Perjuangan, mengaku telah terzalimi oleh sistem aplikasi Grab, tempatnya menggantungkan nafkah sehari-hari. Siang itu, ia tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di trotoar Jalan Imam Bonjol, sesekali menoleh ke arah gerbang yang dijaga ketat empat para legislator menjalankan tugas mereka. Bersama rekan-rekannya, ia datang membawa harapan. Namun saat senja menjemput, hanya letih yang ia bonceng pulang.
"Saya datang ke sini (Gedung DPRD Sumut) untuk menuntut hak. Saya tidak mengerti tujuannya apa, kenapa Aplikator (Grab) membuat banyak potongan. Saya merasa terzalimi," ujar Delina, masih memilih duduk di trotoar, berselimut debu dan kekecewaan.
Sorot matanya tak bisa menyembunyikan beban hidup yang menumpuk. Meskipun sebagian wajahnya tertutup masker kain berwarna biru, garis di dahinya memperlihatkan tekanan yang terus menghimpit. Matanya merah, letih, barangkali karena harus menembus jalanan kota dari pagi hingga sore, hanya untuk menerima sebagian kecil dari hasil keringatnya.
Cerita Delina bukan hanya cerita seorang perempuan. Ia menjadi simbol dari sebuah sistem kerja yang terus bergeser: dari pekerja penuh waktu menjadi pekerja digital berbasis aplikasi, dari pengemudi mandiri menjadi 'mitra' tanpa perlindungan.
Saat ini, berdasarkan data dari Serikat Pekerja Angkutan Indonesia (SPAI), potongan yang dikenakan kepada driver ojol di Indonesia berkisar antara 20% hingga 30% dari setiap transaksi. Komponen potongannya terdiri dari biaya sewa aplikasi, biaya jasa, layanan platform, dan asuransi perjalanan.Â
Dalam kasus tertentu, setelah dikurangi potongan dan biaya bensin, seorang driver hanya membawa pulang sekitar Rp25.000 hingga Rp50.000 per hari, bahkan kurang, tergantung sepi-ramainya pesanan.
Data dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) juga mencatat bahwa lebih dari 68% driver ojol di Indonesia merasa pendapatan mereka menurun sejak tahun 2021, sementara biaya operasional (BBM, servis kendaraan, hingga cicilan kendaraan) justru meningkat.
"Ini bukan hanya tentang penghasilan. Ini soal keadilan. Banyak dari kami bekerja 10-12 jam sehari, tapi tetap tidak bisa menutupi kebutuhan rumah tangga," kata salah satu peserta aksi dari Aksi Solidaritas Driver Medan (ASDM).