Aku menghela napas. "Aku skip dulu. Lagi gak fokus." Â
Ragil mengangkat alis. "Ini karena ujian, atau karena *seseorang* yang dari tadi kamu tatap?" Â
Aku mengerutkan kening. "Apa?" Â
Rendra tertawa. "Jangan sok-sok gak tahu. Selama ujian tadi, kamu melamun lihat Niken sampai tiga kali. Aku aja yang duduk di sampingmu jadi malu." Â
Tiba-tiba, Niken lewat di depan kami---membawa kotak makan siangnya sendiri. Dia melirik ke arah kami, lalu memilih duduk di meja seberang bersama teman-temannya. Â
Ragil mendesah. "Duh, kalian berdua ini bikin capek hati. Daripada saling menghindar gini, mending omongin aja langsung." Â
Aku menghela napas. "Ini bukan waktu yang tepat, Gil. Lagi ujian, kita masih ada lomba bisnis, dan---" Â
"Dan apa? Kamu takut kalau perasaan Niken bakal ganggu semua itu?" potong Rendra. "Bro, justru ini ujian terakhir kita. Setelah lulus, kita gak tahu bakal ke mana. ITS buat Ragil, TNI buat aku, Unair buat Niken... Kamu mau ninggalin dia tanpa jawaban?" Â
Aku terdiam. Â
***
Minggu ujian terasa seperti rollercoaster. Tapi yang paling membuatku tidak karuan adalah sikap Niken yang tetap dingin. Dia masih membantuku di kafe, tapi selalu menjaga jarak. Tidak lagi ada obrolan santai, tidak lagi ada kopi spesial buatanku, tidak lagi ada senyum manisnya yang biasa menghiasi sore-sore di Lintas Garis Coffee. Â