Pasar minuman siap saji di Indonesia telah menjelma menjadi medan pertempuran sengit yang menarik. Dulu, kopi dan teh seolah memiliki jalur masing-masing. Kopi identik dengan kafe kelas atas, tempat nongkrong, atau ritual pagi. Teh, di sisi lain, adalah minuman rakyat yang selalu ada di warung, angkringan, dan meja makan rumah. Kehadirannya sederhana, harganya murah, dan fungsinya jelas: pelepas dahaga.
Namun, beberapa tahun belakangan ini, perbatasan antara keduanya mulai kabur. Munculnya berbagai merek minuman kekinian, terutama dari segmen es teh, telah memicu sebuah "perang dingin" yang mengubah peta persaingan industri kuliner secara drastis. Kedua komoditas ini kini berlomba menawarkan inovasi, harga, dan pengalaman unik untuk merebut hati konsumen, terutama dari kalangan generasi muda.
Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari peran media sosial. Estetika sajian, kemasan yang instagrammable, dan endorsement dari figur publik membuat produk minuman cepat viral. Sebuah booth sederhana yang menjual es teh dengan ukuran jumbo dan harga terjangkau bisa langsung meledak, menciptakan efek berantai dan mendorong kemunculan ratusan bahkan ribuan pesaing baru dalam waktu singkat.
Sektor kopi mungkin lebih dulu mengambil langkah modernisasi. Kedai kopi specialty menjamur, memopulerkan biji kopi lokal, dan membuat ngopi menjadi bagian dari gaya hidup urban. Fenomena Kopi Susu Gula Aren menjadi titik balik, membuktikan bahwa kopi bisa dibuat sederhana, murah, dan dapat diakses semua kalangan, tidak harus selalu identik dengan mesin mahal atau barista berkelas.
Kopi telah menetapkan standar baru untuk industri minuman. Standar ini mencakup kecepatan layanan, konsistensi rasa di berbagai cabang franchise, dan kemampuan branding yang kuat. Para pengusaha teh kemudian melihat celah besar: jika kopi bisa disederhanakan dan di-franchise-kan, mengapa teh tidak? Inilah awal dari revolusi teh kekinian.
Kebangkitan Teh dari Gelas Warung ke Gerai Franchise
Kebangkitan teh dimulai dari ide yang sangat jenius: mengambil minuman yang sudah dicintai rakyat dan memberinya sentuhan modern. Teh manis, yang tadinya hanya Rp3.000, kini disajikan dalam cup plastik berukuran besar, diberi nama yang unik, dan dijual seharga mulai dari Rp5.000. Strategi ini langsung memukul telak pasar karena menawarkan nilai (ukuran besar) dengan harga yang sangat ramah kantong.
Teh berhasil menembus pasar yang tidak tersentuh kopi, yaitu segmen konsumen yang mencari kesegaran maksimal dengan biaya paling minimal. Bagi konsumen yang menganggap kopi terlalu mahal atau punya masalah lambung, teh adalah alternatif sempurna yang selalu akrab di lidah. Ini adalah keunggulan kultural yang tidak dimiliki kopi.
Inovasi yang dilakukan para tea-preneur sangat agresif. Mereka tidak hanya menjual teh manis biasa. Varian rasa mulai muncul, seperti lychee tea, peach tea, cheese tea, hingga teh dicampur boba atau nata de coco. Teh mulai diperlakukan seperti kanvas rasa yang bisa dicampur dengan apa saja, jauh lebih fleksibel dari batasan espresso atau latte pada kopi.
Model bisnis franchise yang ditawarkan juga sangat menarik. Dengan modal yang relatif kecil, seseorang bisa langsung membuka gerai teh tanpa perlu keahlian meracik yang rumit. Sistem ini memungkinkan pertumbuhan merek-merek teh baru terjadi secara eksponensial, menjamur di setiap sudut kota, bersaing langsung dengan gerai-gerai kopi yang sudah mapan.
Lonjakan jumlah gerai teh ini menciptakan kepadatan pasar. Di satu sisi, ini bagus untuk konsumen karena banyak pilihan dan harga kompetitif. Di sisi lain, hal ini menimbulkan tantangan serius bagi para pelaku usaha untuk terus berinovasi. Mereka harus memastikan bahwa rasa teh mereka konsisten dan layanan mereka cepat agar tidak kalah saing dengan tetangga sebelah.