Sabtu sore (11/10/2025) menjadi hari yang spesial bagi kami. Rombongan kami tiba di salah satu lokasi paling bersejarah di Kota Bandung: Lapas Banceuy, yang kini menjadi monumen. Tempatnya persis di tengah hiruk pikuk Jalan Banceuy/ABC, seolah tersembunyi di antara pertokoan modern.
Begitu masuk area monumen, suasana langsung berubah. Keramaian jalanan seolah tertinggal, digantikan keheningan yang kental dengan aura masa lalu. Di sana, kami sudah disambut hangat oleh sosok yang kami hormati, Dr. H. Tom Maskun, M.Pd. Ia adalah pemimpin kami yang baru saja purna tugas sebagai Ketua Pengurus Yayasan Al Ghifari dan kini mengemban amanah di Komisi V DPRD Jawa Barat.
Pertemuan ini terasa seperti reuni keluarga. Kami berkumpul di depan monumen, tepat di hadapan patung Bung Karno yang sedang duduk merenung. Perbincangan pun langsung mengalir santai, membahas tempat yang kami injak ini, penjara yang menjadi saksi bisu perjuangan.
Mengupas Kisah di Balik Tembok Banceuy
Pak Tom Maskun memulai obrolan dengan menunjuk sel kecil di samping kanan depan patung. Ia mengingatkan kami bahwa tempat ini bukanlah sembarang penjara. Ini adalah salah satu tempat pengasingan fisik yang harus diterima oleh pendiri bangsa, Ir. Soekarno.
"Coba bayangkan, Bung Karno, seorang pemimpin pergerakan, dipenjara di sini," kata Tom. "Ini bukan hanya penjara biasa, ini adalah bagian dari strategi Belanda untuk mematahkan semangat perlawanan."
Ia menjelaskan bahwa Bung Karno ditangkap pada akhir tahun 1929 karena aktivitasnya di Partai Nasional Indonesia (PNI). PNI dianggap berbahaya oleh Pemerintah Hindia Belanda karena menyebarkan semangat kemerdekaan. Tuduhannya waktu itu adalah makar, dijerat dengan pasal-pasal karet yang dikenal sebagai haatzai artikelen.
Kami kemudian mendekati sel nomor 5 yang tersisa. Ukurannya hanya sekitar 210146 sentimeter. Saking sempitnya, Bung Karno sendiri pernah menyebut sel ini "tidak lebih dari peti mati."
"Lihatlah ukuran sel ini," lanjut Tom sambil mengamati pintu besi. "Di dalam ruangan sekecil ini, yang isinya hanya kasur, alat salat, dan tempat buang air, justru pikiran Bung Karno tidak bisa dikurung. Di sinilah lahir karya besar."
Karya besar yang dimaksud Tom Maskun tentu saja adalah pledoi legendaris berjudul Indonesia Menggugat (Indonesi Klaagt Aan). Ia menekankan, penulisan pledoi ini adalah bukti nyata bahwa semangat perlawanan tidak bisa dibatasi oleh tembok penjara sekuat apa pun.