Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Sampai Kapan Anggaran Negara Dikuras Akibat Keracunan MBG yang Berulang?

10 Oktober 2025   21:32 Diperbarui: 10 Oktober 2025   21:32 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petugas PMI mengevakuasi siswa korban keracunan MBG di SMP Negeri 3 Kota Banjar, Jabar, Rabu (1/10/2025). ANTARA FOTO/Adeng Bustomi  via Kompas.com

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah inisiatif besar dengan niat mulia yaitu memastikan anak-anak Indonesia mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh kembang optimal. 

Anggaran yang dialokasikan sungguh fantastis, mencerminkan komitmen serius negara. Namun, di tengah pelaksanaan yang masif ini, kita terus dihantui oleh satu masalah yang sama dan berulang: keracunan massal.

Kejadian ini bukan lagi sekali dua kali, melainkan terjadi di banyak daerah, dari Sabang sampai Merauke. Mulai dari puluhan hingga ratusan siswa dilarikan ke puskesmas dan rumah sakit dengan gejala mual, muntah, dan pusing setelah menyantap menu yang seharusnya menyehatkan.

Fenomena ini menciptakan ironi yang mendalam. Di satu sisi, negara mengucurkan dana triliunan untuk mengatasi masalah gizi; di sisi lain, sebagian dari dana tersebut kini terpakai untuk menanggulangi dampak keracunan yang seharusnya bisa dicegah.

Kita perlu jujur dan tegas. Masalah keracunan MBG ini adalah bukan masalah gizi, melainkan masalah manajemen, pengawasan, dan higienitas. Jika keracunan terus berulang, ini menunjukkan ada lubang besar dalam sistem pelaksanaan di lapangan.

Sampai kapan anggaran negara akan terus dikuras untuk menutupi biaya pengobatan korban, biaya laboratorium, biaya rapat evaluasi mendadak, hingga biaya pembentukan tim investigasi ad-hoc? Dana ini seharusnya murni untuk pembelian bahan baku berkualitas dan pendistribusian gizi.

Setiap kasus keracunan yang muncul selalu diikuti dengan reaksi yang sama: Tim turun, sampel diuji, dan hasilnya seringkali mengarah pada kontaminasi bakteri seperti E. coli atau Bacillus cereus. Penyebabnya klise: makanan dimasak terlalu pagi, disimpan terlalu lama, atau proses penjamahan yang jorok.

Reaksi berlebihan terhadap keracunan ini juga berpotensi menciptakan pemborosan anggaran baru. Misalnya, pembentukan satuan tugas (satgas) khusus dengan biaya operasional yang besar, padahal fungsi pengawasan sejatinya sudah ada di Dinas Kesehatan (Dinkes) dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) setempat.

Mengapa Isu Keracunan MBG Menghabiskan Anggaran yang Tidak Perlu?

Ada mekanisme alami yang terjadi setiap kali kasus keracunan MBG mencuat. 

Pertama, ada biaya darurat kesehatan. Ratusan anak dilarikan ke fasilitas kesehatan, yang berarti ada klaim biaya pengobatan, obat-obatan, dan peningkatan beban kerja Puskesmas/RS. Meskipun mungkin ditanggung pemerintah daerah, ini tetaplah anggaran negara yang bergeser dari pos lain.

Kedua, muncul biaya investigasi dan laboratorium yang berulang. Setiap insiden butuh uji lab untuk memastikan penyebab keracunan. Sampel makanan, muntahan, dan air harus dikirim ke labkesda atau lembaga terkait. Proses ini mahal dan memakan waktu, apalagi jika dilakukan berulang di puluhan lokasi berbeda.

Ketiga, biaya rapat dan koordinasi yang masif. Setelah keracunan, para pemangku kepentingan mulai dari tingkat desa, dinas pendidikan, dinas kesehatan, hingga Badan Gizi Nasional (BGN) pasti mengadakan rapat maraton. Rapat ini melibatkan perjalanan dinas, konsumsi, dan honorarium tim, yang semuanya menghabiskan anggaran.

Keempat, biaya penutupan dan pembinaan ulang Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Ketika sebuah dapur katering terbukti bermasalah, operasinya dihentikan sementara. Ada biaya yang harus dikeluarkan untuk pembinaan ulang, pelatihan higienitas, dan audit mendadak.

Fokus anggaran menjadi bias. Dana yang seharusnya 90% dialokasikan untuk membeli bahan pangan bergizi ayam, telur, sayuran, buah kini harus terpotong untuk membiayai ribut-ribut dan perbaikan di hilir. Ini adalah pemborosan yang tidak substansial.

Padahal, solusi untuk 99% kasus keracunan MBG adalah sangat sederhana: pastikan juru masak bersih, bahan baku segar, masak mendekati waktu makan, dan distribusi tidak lebih dari dua jam setelah matang. Ini adalah Standar Operasional Prosedur (SOP) dasar, bukan proyek teknologi tinggi yang membutuhkan biaya besar.

Jika SOP dasar ini tidak bisa ditegakkan, maka anggaran negara akan selamanya terperangkap dalam lingkaran setan keracunan: alokasikan dana gizi terjadi keracunan kucurkan dana penyelamatan & rapat dana gizi terpotong alokasikan dana gizi lagi.

Inilah yang kita maksud dengan anggaran negara dikuras oleh isu keracunan yang sebenarnya adalah masalah disiplin dan pengawasan. Bukan masalah anggaran untuk gizinya, tetapi anggaran untuk mengatasi kegagalan SOP.

Memperbaiki Dapur, Bukan Membubarkan Program: Esensi Cerita MBG

Inti dari cerita MBG adalah upaya besar negara untuk mencetak generasi unggul melalui gizi. Program ini ibaratnya adalah investasi jangka panjang yang manfaatnya baru akan terlihat puluhan tahun mendatang, dalam bentuk sumber daya manusia yang cerdas dan sehat.

Oleh karena itu, isu keracunan tidak boleh dijadikan alasan utama untuk menghentikan atau membubarkan program MBG. Itu sama saja dengan membuang bayi bersama air cuciannya. Niat baik dan manfaat gizi yang besar akan hilang hanya karena keteledoran teknis.

Fokusnya harus digeser. Daripada menghabiskan waktu dan uang untuk meratapi keracunan, lebih baik negara mengalokasikan anggaran untuk penguatan struktur pelaksana di lapangan.

Pertama, audit higiene massal dan sertifikasi ketat. Setiap SPPG atau dapur katering yang terlibat dalam MBG wajib memiliki sertifikat laik higiene sanitasi. Anggaran harus dialokasikan untuk pelatihan juru masak secara berkala dan inspeksi mendadak, bukan untuk biaya rapat di hotel.

Kedua, sistem distribusi yang berorientasi waktu. Anggaran perlu dialihkan untuk memastikan logistik distribusi makanan (kotak makanan, kendaraan berpendingin) yang cepat, aman, dan tepat waktu. Konsep cook-and-serve harus lebih diutamakan, memangkas jeda antara memasak dan mengonsumsi yang menjadi biang kerok pertumbuhan bakteri.

Ketiga, keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat lokal. Daripada menggunakan katering raksasa dari kota yang jauh, alokasikan dana untuk memberdayakan ibu-ibu PKK atau usaha kecil menengah (UKM) lokal di sekitar sekolah. Mereka bisa memasak lebih dekat, menggunakan bahan lokal yang lebih segar, dan mengurangi risiko kontaminasi selama perjalanan.

Solusi ini tidak hanya mengatasi masalah keracunan, tetapi juga menciptakan perputaran ekonomi lokal dan memastikan bahan pangan yang digunakan benar-benar segar. Ini adalah penggunaan anggaran yang cerdas dan multimanfaat.

Pemerintah pusat dan daerah harus menyadari bahwa keracunan MBG adalah alarm gizi yang berbunyi sangat keras. Alarm ini bukan meminta kita mematikan programnya, melainkan meminta kita mengganti baterai pengawasan dan meningkatkan kualitas komponen pelaksana.

Urgensi Pengawasan dan Tanggung Jawab Anggaran

Keracunan yang berulang adalah cermin lemahnya fungsi pengawasan yang didanai oleh anggaran negara. Pengawas harus turun setiap hari, bukan hanya setelah ada korban. 

Anggaran pengawasan harus bersifat preventif, bukan kuratif (mengobati). Aparat yang ditunjuk harus bekerja dan memastikan SOP dijalankan sebelum masalah muncul. 

Jika pengawas di tingkat daerah gagal, mereka harus dikenakan sanksi tegas, karena kegagalan mereka berdampak pada pemborosan anggaran negara untuk penanggulangan.

Masalah ini adalah ujian integritas anggaran dan komitmen gizi. Jangan biarkan anggaran negara yang besar dan niat baik program MBG menjadi korban permanen dari isu keracunan yang terus berulang dan bisa dicegah.

Kesimpulan

Keracunan massal dalam program MBG adalah persoalan teknis manajemen dan pengawasan yang mahal. 

Jika negara terus menghamburkan anggaran untuk merespons kasus per kasus, alih-alih berinvestasi pada penguatan sistem dan higienitas di dapur, maka dana triliunan untuk gizi anak akan terus tergerus oleh biaya penanggulangan dan rapat-rapat yang tak efektif. 

Saatnya berfokus pada perbaikan permanen, menjadikan keracunan sebagai alarm untuk bertindak lebih disiplin, bukan sebagai alasan untuk memboroskan anggaran negara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun