Pejabat dalam kasta Bibliophile tidak hanya membeli buku, tetapi juga rutin dan gemar membacanya. Bagi mereka, buku adalah jendela dunia, sumber data, dan gudang kearifan.
Mereka membaca buku-buku yang relevan dengan bidang garapan mereka. Seorang menteri ekonomi membaca teori-teori baru tentang kebijakan fiskal. Seorang kepala daerah membaca studi kasus tentang tata kota berkelanjutan.
Gagasan besar dan kebijakan yang visioner lahir dari meja kerja seorang Bibliophile. Mereka mampu melihat masalah dari berbagai perspektif karena terbiasa menyerap wawasan dari berbagai penulis dan pemikir.
Seorang pejabat Bibliophile cenderung memiliki pandangan jangka panjang. Mereka tahu bahwa solusi instan seringkali hanya menimbulkan masalah baru di masa depan. Kualitas kebijakan mereka teruji dan punya kedalaman.
Mereka juga tidak akan mudah terpeleset lidah saat berpidato atau membuat pernyataan publik, karena kosakata dan kerangka berpikir mereka sudah terasah. Integritas dan wawasan berjalan beriringan.
Inilah pemimpin yang harusnya menjadi panutan, bukan hanya dalam penampilan, tetapi dalam ketajaman pikiran. Sayangnya, kategori ini tampaknya adalah minoritas di lingkungan birokrasi kita.
Kasta Kedua: The Tsundoku (Kolektor Palsu Wawasan)
Kasta kedua adalah Tsundoku. Istilah ini berasal dari bahasa Jepang, yang berarti tindakan membeli buku dan menumpuknya, tetapi tidak pernah membacanya.
Buku di mata pejabat Tsundoku adalah properti atau dekorasi. Mereka membeli buku-buku tebal, mungkin edisi mahal, untuk dipajang di rak kantor atau perpustakaan pribadi mereka.
Tujuannya? Untuk pencitraan. Tujuannya adalah agar publik atau rekan sejawat melihat bahwa ia adalah "orang yang berwawasan." Padahal, buku-buku itu hanya tumpukan kertas yang berdebu.
Seorang pejabat Tsundoku senang memamerkan rak bukunya dalam background wawancara, tetapi tidak bisa menjelaskan isi dari satu pun buku tersebut jika ditanya secara mendalam.