Mereka adalah penimbun wawasan. Mereka punya sarana untuk belajar, tetapi menolaknya. Buku bagi mereka hanyalah simbol status yang setara dengan lukisan atau vas bunga antik.
Kebijakan yang lahir dari pejabat Tsundoku seringkali dangkal dan tidak terstruktur. Mereka mengandalkan laporan ringkas (ringkasan eksekutif) tanpa pernah menguji premis dasar laporan tersebut melalui bacaan pembanding yang lebih luas.
Inilah ironi yang menyedihkan: punya akses ke kebijaksanaan, tetapi memilih untuk menjadi bodoh secara sukarela. Mereka membeli citra, tetapi kehilangan substansi.
Kasta Ketiga: The Philistine (Musuh Budaya dan Ilmu)
Kasta ketiga adalah Philistine. Istilah ini merujuk pada seseorang yang cuek, tidak menghargai, atau bahkan memusuhi seni, budaya, dan hal-hal yang bersifat intelektual.
Bagi pejabat Philistine, buku sama sekali tidak penting. Mereka tidak hanya malas membaca, tetapi juga tidak mau membeli. Buku dianggap sebagai pemborosan waktu dan uang.
Mereka adalah pemimpin yang bangga dengan ketidaktahuan mereka atau beranggapan bahwa "pengalaman lapangan" sudah lebih dari cukup. Mereka meremehkan teori, data, dan pemikiran jangka panjang.
Pejabat Philistine cenderung reaktif. Ketika ada masalah, mereka bertindak spontan dan emosional, tanpa kerangka analisis yang matang. Mereka sering terpeleset lidah di depan publik karena minimnya kosakata dan kedalaman berpikir.
Kebijakan yang mereka buat seringkali hanya menyenangkan segelintir orang atau bersifat jangka pendek, karena mereka tidak memiliki basis data dan ilmu yang komprehensif. Mereka mudah terpengaruh oleh hoax atau informasi satu pihak.
Kasta ini adalah bahaya laten bagi negara. Mereka memimpin tanpa kompas, hanya mengandalkan popularitas sesaat dan retorika kosong.
Kesimpulan