Mengapa pejabat kita perlu membaca buku? Pertanyaan ini terasa semakin mendesak di tengah derasnya arus informasi dan tuntutan kompleksitas negara.Â
Namun, pertanyaan ini mencuat bukan dari hasil riset mendalam, melainkan dari pengamatan sederhana di media sosial.Â
Di sana, kita menyaksikan parade kemewahan seperti mobil mewah, tas bermerek, jam tangan mahal, dan perjalanan ke luar negeri. Semua dipamerkan, disukai, dan diulas.
Ironisnya, di tengah semua pameran itu, satu hal yang hampir tidak pernah terlihat adalah buku. Pejabat kita sangat jarang bahkan bisa dibilang hampir tak pernah memamerkan tumpukan buku yang sedang mereka baca.Â
Mereka tidak pernah menyerukan budaya literasi atau sekadar memberi contoh bahwa membaca adalah kebiasaan harian mereka.
Fenomena ini kontras sekali dengan tuntutan jabatan mereka. Bagaimana mungkin seorang pemimpin yang harus mengambil keputusan miliaran rupiah, yang berdampak pada jutaan nyawa, tidak menjalin persahabatan dengan sumber gagasan dan data terbaik, yaitu buku?Â
Inilah yang membuat kita pantas menyebut kondisi saat ini sebagai fenomena darurat baca pejabat. Pejabat kita berada jauh dari buku, jauh dari budaya literasi.
Dalam konteks relasi pejabat dengan buku, kita bisa mengategorikan mereka ke dalam tiga "kasta" berdasarkan istilah asing yang dikenal dalam dunia literasi.Â
Pembagian kasta ini bukan soal kekayaan, melainkan soal kedekatan mereka dengan ilmu dan wawasan.
Kasta Pertama: The Bibliophile (Sahabat Sejati Ilmu)
Kasta pertama adalah Bibliophile. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani yang secara harfiah berarti "pecinta buku." Ini adalah kategori ideal yang sangat kita dambakan dari para pemimpin.
Pejabat dalam kasta Bibliophile tidak hanya membeli buku, tetapi juga rutin dan gemar membacanya. Bagi mereka, buku adalah jendela dunia, sumber data, dan gudang kearifan.
Mereka membaca buku-buku yang relevan dengan bidang garapan mereka. Seorang menteri ekonomi membaca teori-teori baru tentang kebijakan fiskal. Seorang kepala daerah membaca studi kasus tentang tata kota berkelanjutan.
Gagasan besar dan kebijakan yang visioner lahir dari meja kerja seorang Bibliophile. Mereka mampu melihat masalah dari berbagai perspektif karena terbiasa menyerap wawasan dari berbagai penulis dan pemikir.
Seorang pejabat Bibliophile cenderung memiliki pandangan jangka panjang. Mereka tahu bahwa solusi instan seringkali hanya menimbulkan masalah baru di masa depan. Kualitas kebijakan mereka teruji dan punya kedalaman.
Mereka juga tidak akan mudah terpeleset lidah saat berpidato atau membuat pernyataan publik, karena kosakata dan kerangka berpikir mereka sudah terasah. Integritas dan wawasan berjalan beriringan.
Inilah pemimpin yang harusnya menjadi panutan, bukan hanya dalam penampilan, tetapi dalam ketajaman pikiran. Sayangnya, kategori ini tampaknya adalah minoritas di lingkungan birokrasi kita.
Kasta Kedua: The Tsundoku (Kolektor Palsu Wawasan)
Kasta kedua adalah Tsundoku. Istilah ini berasal dari bahasa Jepang, yang berarti tindakan membeli buku dan menumpuknya, tetapi tidak pernah membacanya.
Buku di mata pejabat Tsundoku adalah properti atau dekorasi. Mereka membeli buku-buku tebal, mungkin edisi mahal, untuk dipajang di rak kantor atau perpustakaan pribadi mereka.
Tujuannya? Untuk pencitraan. Tujuannya adalah agar publik atau rekan sejawat melihat bahwa ia adalah "orang yang berwawasan." Padahal, buku-buku itu hanya tumpukan kertas yang berdebu.
Seorang pejabat Tsundoku senang memamerkan rak bukunya dalam background wawancara, tetapi tidak bisa menjelaskan isi dari satu pun buku tersebut jika ditanya secara mendalam.
Mereka adalah penimbun wawasan. Mereka punya sarana untuk belajar, tetapi menolaknya. Buku bagi mereka hanyalah simbol status yang setara dengan lukisan atau vas bunga antik.
Kebijakan yang lahir dari pejabat Tsundoku seringkali dangkal dan tidak terstruktur. Mereka mengandalkan laporan ringkas (ringkasan eksekutif) tanpa pernah menguji premis dasar laporan tersebut melalui bacaan pembanding yang lebih luas.
Inilah ironi yang menyedihkan: punya akses ke kebijaksanaan, tetapi memilih untuk menjadi bodoh secara sukarela. Mereka membeli citra, tetapi kehilangan substansi.
Kasta Ketiga: The Philistine (Musuh Budaya dan Ilmu)
Kasta ketiga adalah Philistine. Istilah ini merujuk pada seseorang yang cuek, tidak menghargai, atau bahkan memusuhi seni, budaya, dan hal-hal yang bersifat intelektual.
Bagi pejabat Philistine, buku sama sekali tidak penting. Mereka tidak hanya malas membaca, tetapi juga tidak mau membeli. Buku dianggap sebagai pemborosan waktu dan uang.
Mereka adalah pemimpin yang bangga dengan ketidaktahuan mereka atau beranggapan bahwa "pengalaman lapangan" sudah lebih dari cukup. Mereka meremehkan teori, data, dan pemikiran jangka panjang.
Pejabat Philistine cenderung reaktif. Ketika ada masalah, mereka bertindak spontan dan emosional, tanpa kerangka analisis yang matang. Mereka sering terpeleset lidah di depan publik karena minimnya kosakata dan kedalaman berpikir.
Kebijakan yang mereka buat seringkali hanya menyenangkan segelintir orang atau bersifat jangka pendek, karena mereka tidak memiliki basis data dan ilmu yang komprehensif. Mereka mudah terpengaruh oleh hoax atau informasi satu pihak.
Kasta ini adalah bahaya laten bagi negara. Mereka memimpin tanpa kompas, hanya mengandalkan popularitas sesaat dan retorika kosong.
Kesimpulan
Fenomena darurat baca pejabat adalah alarm bagi kualitas kebijakan publik dan masa depan bangsa.Â
Ketidakmauan pejabat untuk menjadikan buku sebagai sahabat sejatinya adalah akar dari kebijakan reaktif, dangkal, dan kegagalan mereka dalam mengelola kompleksitas negara.Â
Untuk melahirkan kebijakan yang benar-benar berpihak pada rakyat, kita harus mendorong transisi massal dari kasta Tsundoku dan Philistine menjadi Bibliophile.Â
Membaca bukan sekadar kebiasaan pribadi; ia adalah modal utama bagi integritas dan visi seorang pemimpin. Pejabat kita harus menyadari bahwa membaca bukan hanya perlu, tetapi mutlak wajib.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI