20 Tahun Mengabdi, 20 Tahun Menanti Perhatian
Saya menonton berita di televisi nasional, sebuah cerita yang entah mengapa terasa begitu dekat. Cerita tentang Doni Romdoni, seorang guru honorer berusia 43 tahun di Kabupaten Pandeglang, Banten. Kisahnya bukan tentang pencapaian besar atau penghargaan tinggi, melainkan tentang perjuangan yang sungguh pahit.Â
Selama dua dekade, Doni mengabdikan dirinya untuk mencerdaskan anak-anak bangsa di sebuah sekolah swasta. Dua puluh tahun bukan waktu yang singkat. Itu adalah masa di mana generasi demi generasi telah ia ajar, ia bimbing, dan ia bentuk karakternya. Namun, di balik dedikasi yang luar biasa itu, ada realita yang membuat hati teriris.
Doni tinggal di sebuah rumah yang jauh dari kata layak. Ukurannya hanya 5x8 meter. Sejak tahun 2022, rumah itu sudah ambruk, dan kini hanya menyisakan satu kamar. Dindingnya rusak parah, atapnya lapuk, tak mampu lagi menahan hujan. Situasi ini membuat Doni harus mengungsikan istri dan anaknya.Â
Bayangkan, seorang pahlawan tanpa tanda jasa, yang seharusnya dilindungi dan dihargai, justru harus menghadapi kenyataan pahit seperti ini. Gaji yang ia terima sebagai guru honorer swasta sangat minim, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dapur sehari-hari. Untuk membangun kembali rumahnya, apalagi merenovasinya, jelas itu adalah mimpi di siang bolong.
Kisah Doni hanyalah satu dari sekian banyak potret pilu guru honorer di Indonesia. Saya yakin, di luar sana, masih banyak Doni-Doni lain yang senasib. Mereka adalah garda terdepan dalam dunia pendidikan, namun hidup di bawah garis kemiskinan.Â
Gaji mereka seringkali tidak sebanding dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Bahkan ada yang menerima honor hanya ratusan ribu per bulan. Jumlah ini tentu saja tidak manusiawi, mengingat beban kerja dan tanggung jawab mereka yang tidak berbeda dengan guru PNS. Minimnya perhatian ini adalah pukulan telak bagi semangat mereka.
Enaknya punya pejabat mungkin sering kita dengar sebagai sindiran. Dan kisah Doni adalah bukti nyatanya. Dua puluh tahun Doni berjuang sendiri di Pandeglang, tanpa ada uluran tangan berarti dari mereka yang seharusnya bertanggung jawab.Â
Para pejabat seolah buta dan tuli terhadap jeritan para pahlawan pendidikan ini. Mereka terlalu sibuk dengan urusan-urusan yang lebih besar dan penting menurut mereka, sampai lupa bahwa fondasi sebuah bangsa adalah pendidikan, dan fondasi pendidikan adalah para guru.
Kisah Doni ini membuat kita semua harus bertanya. Apakah para pejabat di Pandeglang tidak pernah melihat, tidak pernah mendengar? Apakah mereka tidak tahu bahwa di wilayah kekuasaan mereka ada guru yang mengabdi puluhan tahun namun tinggal di rumah yang hampir roboh? Atau mereka tahu, namun memilih untuk menutup mata? Entahlah.Â
Yang jelas, ada jurang lebar antara janji manis para pejabat dengan realita pahit di lapangan. Janji-janji kesejahteraan, perbaikan infrastruktur, dan pemerataan pembangunan, seolah hanya jargon kosong yang diucapkan saat kampanye.