Kisah ini adalah tentang seorang perempuan luar biasa, teman kantor saya. Ceritanya bukan fiksi, tapi nyata, tentang bagaimana takdir bisa membalikkan hidup seseorang dalam sekejap.Â
Sebelum semua ini terjadi, kehidupannya bisa dibilang nyaman. Suaminya bekerja, dan semua kebutuhan keluarga bisa terpenuhi. Ia pun bisa fokus sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga, mengurus suami dan dua anaknya yang saat itu masih SD.Â
Hidupnya terasa lengkap, sebuah keluarga kecil yang harmonis. Ia tidak pernah membayangkan akan menghadapi masa depan seorang diri.
Namun, hidup punya rencana lain. Suatu hari, takdir memisahkan mereka. Suaminya meninggal dunia. Dalam sekejap, dunianya runtuh. Ia tidak hanya kehilangan belahan jiwanya, tapi juga satu-satunya penopang ekonomi keluarga.Â
Dua anaknya yang masih kecil, tiba-tiba menjadi yatim. Di pundaknya, kini terpikul beban yang sangat berat. Ia harus menjadi ayah sekaligus ibu, mencari nafkah, dan memastikan kedua anaknya tidak kekurangan kasih sayang dan pendidikan. Ini adalah awal dari perjuangan single parent yang sesungguhnya.
Keputusan untuk bangkit harus segera diambil. Ia tidak punya waktu untuk berlarut dalam kesedihan. Demi anak-anak, ia harus kuat. Pilihan yang ada tidak banyak. Ia harus bekerja. Dengan bekal seadanya, ia melamar pekerjaan dan akhirnya diterima sebagai staf administrasi di sebuah lembaga pendidikan.Â
Pekerjaan ini mungkin terlihat sederhana, tapi bagi dirinya, ini adalah gerbang menuju masa depan anak-anaknya. Gaji yang didapat memang tidak besar, namun setidaknya cukup untuk membiayai kebutuhan dasar.
Hari-harinya berubah total. Pagi ia harus menyiapkan anak-anak ke sekolah, lalu berangkat kerja. Sepulang kerja, ia harus menyiapkan makan malam, membantu pekerjaan rumah anak-anak, dan menyelesaikan pekerjaan kantor yang terbawa pulang.Â
Lelah fisik dan mental adalah hal yang biasa. Seringkali, ia harus begadang untuk menyelesaikan laporan atau sekadar memastikan anak-anaknya tidur nyenyak. Tidak ada lagi waktu untuk dirinya sendiri. Setiap detik, setiap energi, ia curahkan untuk anak-anaknya.
Ia tahu, pendidikan adalah kunci. Ia bertekad, apa pun yang terjadi, ia akan menyekolahkan anak-anaknya setinggi mungkin. Dari SD, SMP, hingga SMA, ia memastikan keduanya mendapatkan yang terbaik dari kemampuannya. Uang SPP, seragam, buku, dan biaya ekstrakurikuler seringkali menjadi beban yang berat.Â
Ada kalanya, ia harus mencari pekerjaan tambahan di akhir pekan atau memangkas pengeluaran pribadi hingga sekecil mungkin agar semua kebutuhan pendidikan anak-anak terpenuhi. Ia tidak ingin anak-anaknya merasa berbeda dari teman-teman mereka.