Semua ini disampaikan dengan narasi yang lugas dan mudah dimengerti. Pesan-pesan ini seringkali menjadi topik obrolan kami di meja makan. Bapak dan Ibu akan menjelaskan lebih lanjut makna di balik setiap cerita, membuat pelajaran itu semakin melekat di ingatan kami.
Cerita meja makan kami bukan hanya tentang Unyil. Kami juga belajar dari tokoh lain, seperti Cuplis, Pak Ogah, atau Meilani. Setiap tokoh memiliki karakternya sendiri, mengajarkan kami bahwa setiap orang punya sisi baik dan buruk.Â
Ibu seringkali berpesan, "Lihat itu Pak Ogah, jangan suka minta-minta. Kamu harus rajin membantu orang." Ayah akan menambahkan, "Sifat jujur seperti Unyil itu yang paling penting." Nasihat-nasihat sederhana ini membentuk kami menjadi pribadi yang lebih baik.
Kami tumbuh dengan nilai-nilai itu. Nilai-nilai yang tidak hanya didapat dari sekolah, tetapi juga dari tayangan Si Unyil dan diskusi di meja makan. Waktu itu, tidak ada gawai atau internet yang mengalihkan perhatian.Â
Satu-satunya hiburan adalah televisi, dan Si Unyil adalah primadonanya. Ia mengajarkan kami untuk menghargai proses, dari bangun pagi hingga tidur malam. Ia juga mengajarkan kami untuk selalu bersyukur.
Menghidupkan Kembali Semangat Pak Raden dan Si Unyil di Masa Kini
Generasi kami telah dewasa, dan sebagian besar sudah menjadi orang tua. Tantangan parenting di masa kini jauh berbeda. Anak-anak kita tumbuh di dunia yang serba cepat dan penuh distraksi. Mereka lebih akrab dengan gawai daripada buku cerita.Â
Obrolan di meja makan seringkali terisi dengan keheningan karena setiap orang sibuk dengan ponselnya masing-masing. Di sinilah peran kenangan Si Unyil menjadi sangat penting.
Kita bisa menggunakan kenangan Si Unyil sebagai jembatan untuk berkomunikasi dengan anak-anak. Mulailah dengan menceritakan pengalaman kita menonton Si Unyil di masa lalu.Â
Ceritakan bagaimana kita begitu gembira saat mendengar lagu pembuka yang ikonik. Ceritakan tokoh-tokoh yang kita sukai, dan pelajaran apa yang kita dapatkan dari mereka. Cerita meja makan ini akan membuka percakapan yang hangat.
Dengan cara ini, kita bisa memperkenalkan anak-anak kita pada nilai-nilai yang sama, tapi dengan cara yang lebih menarik. Kita bisa bilang, "Dulu, ada karakter namanya Pak Ogah. Dia sering bilang 'cepek dulu dong'. Kita tidak boleh seperti itu, ya.Â