Transisi pemerintahan selalu membawa sorotan baru terhadap praktik-praktik kenegaraan. Salah satu isu yang kini hangat diperbincangkan di masa kepemimpinan Prabowo-Gibran adalah fenomena rangkap jabatan para wakil menteri (wamen) sebagai komisaris di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Â
Isu ini bukan hal baru, namun kembali mencuat karena informasinya ada sekitar 30 wamen yang akan menduduki posisi komisaris. Ini memicu diskusi publik yang luas mengenai etika, efektivitas, dan potensi konflik kepentingan.
Pemerintahan yang efektif dan akuntabel adalah pilar utama kemajuan bangsa. Ketika pejabat publik, terutama mereka yang berada di lingkaran eksekutif, juga menjabat di entitas bisnis negara, garis batas antara pelayanan publik dan kepentingan korporasi bisa menjadi kabur.Â
Penting untuk memahami mengapa praktik ini menjadi sorotan dan apa implikasinya bagi tata kelola pemerintahan yang baik. Masyarakat memiliki ekspektasi tinggi terhadap pemerintah baru untuk mewujudkan janji-janji perubahan, dan salah satu caranya adalah dengan memastikan setiap posisi diisi oleh individu yang fokus pada satu tugas utama tanpa beban kepentingan ganda.
Transparansi dan akuntabilitas adalah fondasi bagi kepercayaan publik. Dalam konteks rangkap jabatan ini, masyarakat berhak mengetahui alasan di balik penunjukan, kriteria yang digunakan, serta langkah-langkah mitigasi untuk mencegah potensi masalah.Â
Ini bukan sekadar isu teknis administrasi, melainkan cerminan komitmen pemerintah terhadap prinsip-prinsip tata kelola yang bersih dan berintegritas.
Memahami Fenomena Rangkap Jabatan: Antara Kebutuhan dan Potensi Risiko
Fenomena rangkap jabatan bukanlah hal yang asing dalam lanskap birokrasi dan korporasi di Indonesia. Dari satu sisi, argumen yang sering muncul adalah bahwa penempatan wamen sebagai komisaris BUMN dapat memperkuat koordinasi antara pemerintah sebagai pemilik kebijakan dan BUMN sebagai pelaksana bisnis.Â
Diharapkan, dengan adanya wamen di jajaran komisaris, kebijakan pemerintah dapat diterjemahkan lebih cepat dan efektif ke dalam strategi bisnis BUMN. Selain itu, ada pandangan bahwa wamen memiliki pemahaman mendalam tentang visi pemerintah, yang bisa menjadi aset berharga dalam mengarahkan BUMN agar selaras dengan agenda pembangunan nasional.
Namun, di sisi lain, potensi risiko dari rangkap jabatan ini sangatlah besar. Konflik kepentingan menjadi kekhawatiran utama. Seorang wamen memiliki tugas pokok untuk merumuskan dan melaksanakan kebijakan di kementeriannya.Â
Apabila ia juga menjadi komisaris di BUMN, ia bisa berada dalam posisi di mana keputusannya sebagai wamen dapat memengaruhi BUMN tempat ia menjabat, atau sebaliknya. Misalnya, kebijakan yang menguntungkan BUMN tersebut bisa saja diprioritaskan di atas kepentingan publik yang lebih luas. Ini menciptakan dilema etika yang serius.
Selain itu, fokus dan efektivitas kerja juga bisa terganggu. Menjadi wamen saja sudah merupakan tugas yang berat dan menyita waktu. Menambah tanggung jawab sebagai komisaris BUMN, yang juga membutuhkan perhatian dan analisis mendalam, dapat menyebabkan salah satu atau kedua peran tidak dijalankan secara optimal.Â
Hal ini berpotensi menurunkan kualitas kinerja baik di kementerian maupun di BUMN. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan penuh untuk satu jabatan, kini harus terbagi.
Lebih jauh lagi, rangkap jabatan bisa membuka celah bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dengan dua posisi yang saling terkait, peluang untuk memanfaatkan informasi atau pengaruh dari satu jabatan untuk keuntungan di jabatan lain, atau untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bisa meningkat.Â
Ini adalah kekhawatiran serius yang dapat merusak kepercayaan publik dan integritas sistem pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian mendalam terhadap setiap penunjukan dan memastikan ada mekanisme pengawasan yang ketat.
Membangun Batasan dan Pengawasan: Menuju Tata Kelola yang Lebih Baik
Untuk memitigasi risiko yang melekat pada rangkap jabatan, pemerintah harus berkomitmen untuk membangun batasan yang jelas dan sistem pengawasan yang kuat.Â
Pertama, perlu adanya regulasi yang lebih ketat dan transparan mengenai kriteria penunjukan komisaris BUMN, terutama bagi pejabat publik. Kriteria ini tidak hanya mencakup kompetensi, tetapi juga rekam jejak integritas dan potensi konflik kepentingan. Proses seleksi harus dibuka untuk publik, bukan sekadar penunjukan tertutup.
Kedua, mekanisme pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat. Inspektorat Jenderal di kementerian dan Dewan Komisaris independen di BUMN harus memiliki kapasitas dan wewenang yang memadai untuk mengawasi setiap potensi konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang. Audit reguler dan laporan keuangan yang transparan harus menjadi standar, bukan pengecualian. Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu diberikan ruang yang lebih besar untuk melakukan pengawasan proaktif.
Ketiga, perlu dipertimbangkan secara serius mengenai larangan rangkap jabatan bagi pejabat setingkat wamen atau menteri, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik dan darurat, yang juga harus diatur secara ketat. Memilih untuk fokus pada satu tugas utama akan memungkinkan pejabat untuk mencurahkan seluruh energi dan pikirannya untuk kepentingan publik, tanpa adanya beban kepentingan lain. Ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Pendidikan dan sosialisasi etika birokrasi juga menjadi kunci. Para pejabat harus diberikan pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya integritas dan dampak negatif dari konflik kepentingan.Â
Budaya organisasi yang menjunjung tinggi profesionalisme dan akuntabilitas harus dibangun dari atas hingga ke bawah. Ini bukan hanya tentang aturan, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dan komitmen terhadap pelayanan publik yang tulus.
Mendorong Kepemimpinan Berintegritas untuk Kemajuan Bangsa
Pada akhirnya, fenomena rangkap jabatan wamen sebagai komisaris BUMN adalah cerminan dari tantangan yang lebih besar dalam membangun pemerintahan yang bersih dan berintegritas.Â
Di bawah kepemimpinan Prabowo-Gibran, ada harapan besar dari masyarakat untuk melihat perubahan yang signifikan dalam tata kelola pemerintahan. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan komitmen nyata terhadap reformasi birokrasi dan pemberantasan KKN.
Pemerintahan yang kuat dan inspiratif adalah pemerintahan yang mampu menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya. Dengan mengidentifikasi dan memitigasi potensi risiko dari rangkap jabatan, pemerintah tidak hanya meningkatkan efisiensi kerjanya, tetapi juga membangun kembali kepercayaan publik yang mungkin terkikis. Integritas para pemimpin adalah fondasi yang kokoh bagi kemajuan bangsa.
Melangkah ke depan, diharapkan pemerintah Prabowo-Gibran akan mengambil langkah-langkah konkret untuk memastikan bahwa setiap penunjukan jabatan didasarkan pada prinsip profesionalisme, kompetensi, dan bebas dari konflik kepentingan.Â
Ini adalah kunci untuk mewujudkan visi Indonesia maju, di mana setiap pejabat bekerja dengan sepenuh hati untuk kesejahteraan bersama, tanpa terbebani kepentingan ganda. Dengan demikian, kita dapat membangun masa depan yang lebih cerah, di mana integritas adalah norma, bukan pengecualian.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI