Selain itu, fokus dan efektivitas kerja juga bisa terganggu. Menjadi wamen saja sudah merupakan tugas yang berat dan menyita waktu. Menambah tanggung jawab sebagai komisaris BUMN, yang juga membutuhkan perhatian dan analisis mendalam, dapat menyebabkan salah satu atau kedua peran tidak dijalankan secara optimal.Â
Hal ini berpotensi menurunkan kualitas kinerja baik di kementerian maupun di BUMN. Waktu dan energi yang seharusnya dicurahkan penuh untuk satu jabatan, kini harus terbagi.
Lebih jauh lagi, rangkap jabatan bisa membuka celah bagi praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Dengan dua posisi yang saling terkait, peluang untuk memanfaatkan informasi atau pengaruh dari satu jabatan untuk keuntungan di jabatan lain, atau untuk kepentingan pribadi dan kelompok, bisa meningkat.Â
Ini adalah kekhawatiran serius yang dapat merusak kepercayaan publik dan integritas sistem pemerintahan. Oleh karena itu, penting untuk melakukan kajian mendalam terhadap setiap penunjukan dan memastikan ada mekanisme pengawasan yang ketat.
Membangun Batasan dan Pengawasan: Menuju Tata Kelola yang Lebih Baik
Untuk memitigasi risiko yang melekat pada rangkap jabatan, pemerintah harus berkomitmen untuk membangun batasan yang jelas dan sistem pengawasan yang kuat.Â
Pertama, perlu adanya regulasi yang lebih ketat dan transparan mengenai kriteria penunjukan komisaris BUMN, terutama bagi pejabat publik. Kriteria ini tidak hanya mencakup kompetensi, tetapi juga rekam jejak integritas dan potensi konflik kepentingan. Proses seleksi harus dibuka untuk publik, bukan sekadar penunjukan tertutup.
Kedua, mekanisme pengawasan internal dan eksternal harus diperkuat. Inspektorat Jenderal di kementerian dan Dewan Komisaris independen di BUMN harus memiliki kapasitas dan wewenang yang memadai untuk mengawasi setiap potensi konflik kepentingan atau penyalahgunaan wewenang. Audit reguler dan laporan keuangan yang transparan harus menjadi standar, bukan pengecualian. Ombudsman Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu diberikan ruang yang lebih besar untuk melakukan pengawasan proaktif.
Ketiga, perlu dipertimbangkan secara serius mengenai larangan rangkap jabatan bagi pejabat setingkat wamen atau menteri, kecuali dalam kondisi yang sangat spesifik dan darurat, yang juga harus diatur secara ketat. Memilih untuk fokus pada satu tugas utama akan memungkinkan pejabat untuk mencurahkan seluruh energi dan pikirannya untuk kepentingan publik, tanpa adanya beban kepentingan lain. Ini akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kinerja pemerintah secara keseluruhan.
Pendidikan dan sosialisasi etika birokrasi juga menjadi kunci. Para pejabat harus diberikan pemahaman yang mendalam mengenai pentingnya integritas dan dampak negatif dari konflik kepentingan.Â
Budaya organisasi yang menjunjung tinggi profesionalisme dan akuntabilitas harus dibangun dari atas hingga ke bawah. Ini bukan hanya tentang aturan, tetapi juga tentang perubahan pola pikir dan komitmen terhadap pelayanan publik yang tulus.