Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kurban Bukan Beban, tapi Kebutuhan: Cerita Rasa dari Desa untuk Semesta

10 Juni 2025   11:54 Diperbarui: 10 Juni 2025   16:54 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Domba-domba milik Sukanda yang dipelihara di belakang rumahnya, Margaasih, Cicalengka, Bandung, Senin (9/6/2025). Foto: Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Kurban, bagi sebagian orang di perkotaan, mungkin terasa seperti sebuah beban tahunan. Angka yang harus dikeluarkan untuk membeli hewan kurban bisa jadi besar, apalagi jika pendapatan pas-pasan. Namun, bagi sebagian lainnya, terutama di pedesaan, kurban punya makna yang jauh lebih dalam. 

Ini bukan sekadar kewajiban, tapi sudah menjadi kebutuhan yang diupayakan dengan sepenuh hati. Saya ingin berbagi sebuah cerita dari kampung halaman saya, Kampung Cicadas, Desa Margaasih, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang menggambarkan hal ini dengan sangat jelas.

Saat itu hari Senin, 9 Juni 2025, dan terik matahari pagi di desa terasa begitu hangat. Saya berjalan menyusuri jalan setapak di kampung, ingin bertemu dengan salah satu sosok inspiratif di sana. Di sebuah rumah sederhana, saya melihat seorang lelaki yang kulitnya terlihat kecoklatan karena sering terpapar matahari. 

Dia adalah Sukanda (62 tahun). Rambutnya sudah memutih di beberapa bagian, tapi tatapan matanya masih memancarkan semangat. Sejak lama, Pak Sukanda dikenal sebagai seorang petani, dan yang lebih penting, ia juga seorang peternak domba. Kandang dombanya ada di belakang rumah, tidak jauh dari sawah yang ia garap.

Pak Sukanda ini bukan petani atau peternak biasa. Ada cerita menarik di balik kehidupannya yang sekarang. Siapa sangka, beliau adalah seorang sarjana muda lulusan Fakultas Tarbiyah dari universitas ternama di Kota Bandung. Dengan gelar itu, tentu saja ia punya kesempatan untuk meniti karier di bidang pendidikan. Dan memang, Pak Sukanda pernah menjadi guru di sebuah SMA swasta di Cicalengka selama bertahun-tahun. Pekerjaan yang cukup terpandang dan stabil pada masanya.

Namun, puluhan tahun lalu, Pak Sukanda membuat keputusan besar. Ia memilih untuk berhenti dari profesi guru. Bukan karena tidak suka, tapi ada panggilan lain yang lebih kuat. Ia memutuskan untuk kembali sepenuhnya ke desa, fokus menjadi petani dan peternak domba. Keputusan ini mungkin terlihat tidak biasa bagi sebagian orang, apalagi dengan latar belakang pendidikan yang ia miliki. Tapi, Pak Sukanda yakin dengan pilihannya.

Dari profesi petani dan peternak domba inilah Pak Sukanda berhasil menghidupi keluarganya. Ia punya seorang istri yang selalu setia mendampingi, dan enam orang anak yang menjadi sumber kebahagiaannya. Dengan hasil jerih payahnya dari bertani dan beternak, ia mampu menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan, dua di antaranya berhasil mengecap pendidikan hingga ke perguruan tinggi, sebuah pencapaian yang membanggakan bagi keluarga di desa. Ini menunjukkan betapa kerasnya usaha Pak Sukanda dan betapa besar pengorbanannya.

Pada hari itu, saya duduk santai di teras rumahnya, berbincang dengan Pak Sukanda. Ia berbagi banyak cerita, terutama tentang pengalaman beternak domba. Wajahnya berseri saat menceritakan bagaimana ia merawat domba-dombanya, dari bibit kecil hingga siap dijual. Ia menjelaskan bahwa beternak domba bukan hanya sekadar mencari nafkah untuk menghidupi keluarga. Ada tujuan lain yang lebih mulia di balik semua itu.

"Beternak ini ya untuk menghidupi keluarga, biar anak istri tercukupi. Tapi, yang penting juga, biar tiap tahun bisa berkurban," kata Pak Sukanda dengan nada santai namun penuh keyakinan. Kata-kata itu sederhana, tapi punya makna yang dalam. Ini bukan pernyataan biasa dari seorang peternak. Ini adalah cerminan dari sebuah prinsip hidup.

Pak Sukanda menegaskan kembali bahwa baginya, beternak domba itu bukan beban. Ia menikmati setiap prosesnya, dari memberi makan, membersihkan kandang, hingga mengobati jika ada yang sakit. Semua dilakukan dengan ikhlas. Dan yang lebih penting lagi, ia menegaskan bahwa berkurban itu juga bukan beban baginya. Ini bukan sesuatu yang memberatkan atau terpaksa dilakukan karena kewajiban agama semata.

Justru, Pak Sukanda melihat kurban sebagai sebuah kebutuhan. Sebuah kebutuhan yang muncul dari hati, bukan dari tekanan atau paksaan. Kebutuhan untuk berbagi, kebutuhan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan kebutuhan untuk merasakan kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang lahir dari memberi. Ia tidak pernah mengeluh soal harga pakan yang naik, atau kesulitan merawat ternak. Semua itu dijalani sebagai bagian dari perjalanan untuk bisa berkurban setiap tahun.

Bayangkan saja, seorang lulusan sarjana yang memilih hidup sederhana di desa, bergelut dengan tanah dan ternak. Bukan karena tidak punya pilihan lain, tapi karena ada nilai yang lebih ia kejar. Nilai ketenangan, nilai keberkahan, dan nilai spiritual yang mungkin sulit ditemukan di tengah gemerlap kota. Ia membuktikan bahwa pendidikan tinggi bisa diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, bukan hanya di gedung perkantoran, tapi juga di ladang dan kandang.

Kisah Pak Sukanda ini mengajarkan banyak hal. Ia menunjukkan bahwa kesederhanaan hidup tidak menghalangi seseorang untuk memiliki tujuan mulia. Ia menunjukkan bahwa dengan niat yang kuat dan usaha yang gigih, apapun profesinya, kita bisa mencapai apa yang kita inginkan, bahkan untuk ibadah kurban. Baginya, domba-domba yang ia pelihara bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga jembatan menuju pahala dan keberkahan.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, di mana banyak orang berlomba-lomba mengejar kemewahan dan status, kisah Pak Sukanda ini menjadi oase yang menyejukkan. Ia adalah contoh nyata bahwa kebahagiaan dan keberkahan bisa ditemukan dalam kesederhanaan dan keikhlasan. Ia tidak perlu meminjam uang atau berutang untuk bisa berkurban, karena kurban adalah bagian dari siklus hidupnya sebagai peternak.

Bagi milenial yang mungkin merasa berat untuk kurban atau bahkan kesulitan menabung untuk DP rumah, cerita Pak Sukanda ini bisa menjadi tamparan lembut. Sebuah refleksi bahwa prioritas hidup bisa berbeda. Bahwa ada cara lain untuk melihat kurban, bukan sebagai beban yang harus ditanggung, melainkan sebagai kebutuhan spiritual yang memberi ketenangan jiwa dan rezeki yang tak terduga.

Setiap tahun, menjelang Iduladha, Pak Sukanda akan memilih domba terbaik dari kandangnya. Domba yang ia rawat dengan sepenuh hati, yang ia niatkan sejak awal untuk ibadah. Ia tidak perlu khawatir soal harga atau mencari pinjaman. Karena dari tangan dinginnya sebagai peternak, rezeki itu selalu ada, dan kurban selalu bisa terlaksana.

Cerita Pak Sukanda dari Kampung Cicadas ini adalah pengingat bagi kita semua. Bahwa kurban itu bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego, menyembelih ketamakan, dan menyembelih rasa keberatan. Ini tentang kesadaran bahwa apa yang kita miliki sejatinya adalah titipan, dan ada sebagian yang menjadi hak orang lain.

Kisah ini juga menunjukkan bahwa kerja keras dan kesabaran akan membuahkan hasil. Beternak domba tentu bukan pekerjaan mudah. Ada risiko, ada tantangan. Tapi Pak Sukanda menjalaninya dengan penuh dedikasi, karena ada tujuan yang lebih besar di baliknya: kebutuhan untuk berkurban setiap tahun.

Jadi, ketika kita mendengar tentang kurban, jangan langsung berpikir itu adalah beban yang memberatkan dompet. Coba renungkan lagi, seperti Pak Sukanda. Mungkin kurban itu adalah kebutuhan hati yang sudah lama kita abaikan. Kebutuhan untuk berbagi, kebutuhan untuk bersyukur, dan kebutuhan untuk mendekat kepada Sang Pencipta.

Dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bandung, cerita Pak Sukanda ini mengajarkan sebuah pelajaran besar. Bahwa dalam hidup ini, prioritas dan sudut pandang sangat menentukan bagaimana kita menjalani segalanya. Ia adalah bukti hidup bahwa kurban bukan beban, tapi kebutuhan. Sebuah kebutuhan yang memberikan rasa damai, berkah, dan kebahagiaan sejati. Kisah rasa dari desa ini, semoga bisa menjadi inspirasi untuk semesta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun