Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Halo Lokal Artikel Utama

Kurban Bukan Beban, tapi Kebutuhan: Cerita Rasa dari Desa untuk Semesta

10 Juni 2025   11:54 Diperbarui: 10 Juni 2025   16:54 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Domba-domba milik Sukanda yang dipelihara di belakang rumahnya, Margaasih, Cicalengka, Bandung, Senin (9/6/2025). Foto: Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Justru, Pak Sukanda melihat kurban sebagai sebuah kebutuhan. Sebuah kebutuhan yang muncul dari hati, bukan dari tekanan atau paksaan. Kebutuhan untuk berbagi, kebutuhan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, dan kebutuhan untuk merasakan kebahagiaan yang berbeda, kebahagiaan yang lahir dari memberi. Ia tidak pernah mengeluh soal harga pakan yang naik, atau kesulitan merawat ternak. Semua itu dijalani sebagai bagian dari perjalanan untuk bisa berkurban setiap tahun.

Bayangkan saja, seorang lulusan sarjana yang memilih hidup sederhana di desa, bergelut dengan tanah dan ternak. Bukan karena tidak punya pilihan lain, tapi karena ada nilai yang lebih ia kejar. Nilai ketenangan, nilai keberkahan, dan nilai spiritual yang mungkin sulit ditemukan di tengah gemerlap kota. Ia membuktikan bahwa pendidikan tinggi bisa diaplikasikan dalam bentuk yang berbeda, bukan hanya di gedung perkantoran, tapi juga di ladang dan kandang.

Kisah Pak Sukanda ini mengajarkan banyak hal. Ia menunjukkan bahwa kesederhanaan hidup tidak menghalangi seseorang untuk memiliki tujuan mulia. Ia menunjukkan bahwa dengan niat yang kuat dan usaha yang gigih, apapun profesinya, kita bisa mencapai apa yang kita inginkan, bahkan untuk ibadah kurban. Baginya, domba-domba yang ia pelihara bukan sekadar aset ekonomi, tapi juga jembatan menuju pahala dan keberkahan.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, di mana banyak orang berlomba-lomba mengejar kemewahan dan status, kisah Pak Sukanda ini menjadi oase yang menyejukkan. Ia adalah contoh nyata bahwa kebahagiaan dan keberkahan bisa ditemukan dalam kesederhanaan dan keikhlasan. Ia tidak perlu meminjam uang atau berutang untuk bisa berkurban, karena kurban adalah bagian dari siklus hidupnya sebagai peternak.

Bagi milenial yang mungkin merasa berat untuk kurban atau bahkan kesulitan menabung untuk DP rumah, cerita Pak Sukanda ini bisa menjadi tamparan lembut. Sebuah refleksi bahwa prioritas hidup bisa berbeda. Bahwa ada cara lain untuk melihat kurban, bukan sebagai beban yang harus ditanggung, melainkan sebagai kebutuhan spiritual yang memberi ketenangan jiwa dan rezeki yang tak terduga.

Setiap tahun, menjelang Iduladha, Pak Sukanda akan memilih domba terbaik dari kandangnya. Domba yang ia rawat dengan sepenuh hati, yang ia niatkan sejak awal untuk ibadah. Ia tidak perlu khawatir soal harga atau mencari pinjaman. Karena dari tangan dinginnya sebagai peternak, rezeki itu selalu ada, dan kurban selalu bisa terlaksana.

Cerita Pak Sukanda dari Kampung Cicadas ini adalah pengingat bagi kita semua. Bahwa kurban itu bukan hanya tentang menyembelih hewan, tapi tentang menyembelih ego, menyembelih ketamakan, dan menyembelih rasa keberatan. Ini tentang kesadaran bahwa apa yang kita miliki sejatinya adalah titipan, dan ada sebagian yang menjadi hak orang lain.

Kisah ini juga menunjukkan bahwa kerja keras dan kesabaran akan membuahkan hasil. Beternak domba tentu bukan pekerjaan mudah. Ada risiko, ada tantangan. Tapi Pak Sukanda menjalaninya dengan penuh dedikasi, karena ada tujuan yang lebih besar di baliknya: kebutuhan untuk berkurban setiap tahun.

Jadi, ketika kita mendengar tentang kurban, jangan langsung berpikir itu adalah beban yang memberatkan dompet. Coba renungkan lagi, seperti Pak Sukanda. Mungkin kurban itu adalah kebutuhan hati yang sudah lama kita abaikan. Kebutuhan untuk berbagi, kebutuhan untuk bersyukur, dan kebutuhan untuk mendekat kepada Sang Pencipta.

Dari sebuah desa kecil di Kabupaten Bandung, cerita Pak Sukanda ini mengajarkan sebuah pelajaran besar. Bahwa dalam hidup ini, prioritas dan sudut pandang sangat menentukan bagaimana kita menjalani segalanya. Ia adalah bukti hidup bahwa kurban bukan beban, tapi kebutuhan. Sebuah kebutuhan yang memberikan rasa damai, berkah, dan kebahagiaan sejati. Kisah rasa dari desa ini, semoga bisa menjadi inspirasi untuk semesta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Halo Lokal Selengkapnya
Lihat Halo Lokal Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun