Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Pulau Buaya Alor, NTT: Pesona Tersembunyi di Balik Keterbatasan Ujung Timur Nusantara

9 Juni 2025   17:20 Diperbarui: 9 Juni 2025   17:25 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pulau Buaya, Alor, Nusa Tenggara Timur. Dilihat dari kejauhan bentuknya menyerupai buaya.  | Dok. Pribadi/Manri 

Pulau Buaya adalah sebuah desa yang terletak di Alor, Nusa Tenggara Timur. Lebih tepatnya, pulau ini masuk dalam wilayah Kecamatan Alor Barat Laut, Kabupaten Alor. 

Ini adalah kisah tentang Manri, seorang guru baru di sekolah saya di Bandung, yang berasal asli dari Pulau Buaya. Manri sering bercerita banyak tentang kampung halamannya.

Pulau Buaya terkenal karena bentuknya yang unik, menyerupai buaya, terutama jika dilihat dari kejauhan di perairan. Bentuk ini konon tetap terlihat dari berbagai arah mata angin. 

Keunikan inilah yang sering menarik wisatawan untuk datang berkunjung. Meskipun namanya "Pulau Buaya," tidak ada binatang buas atau buaya sungguhan di sana. Penduduknya mayoritas beragama Islam.

Seperti banyak pulau kecil di Indonesia, Pulau Buaya juga menghadapi tantangan dalam hal pasokan air dan listrik. Untuk listrik, penduduk mengandalkan panel surya. 

Listrik hanya menyala dari sore hingga tengah malam. Meski begitu, sinyal seluler dari operator telekomunikasi milik negara sudah menjangkau pulau ini.

Gapura utama desa Pulau Buaya, yang terletak di dekat satu-satunya masjid di pulau itu, menyambut sekitar 300 kepala keluarga. Selain masjid, ada juga dua sekolah madrasah hingga jenjang Madrasah Tsanawiyah (MTS). 

Setelah MTS, anak-anak harus menyeberang ke Pulau Alor atau merantau ke pondok pesantren di Pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan.

Bagian dalam rumah-rumah besar milik keturunan suku Umat Ukang dan tujuh suku lainnya beralaskan semen. Penduduk di sana merasa lebih nyaman tanpa alas kaki. 

Di ujung barat kampung, ada sebuah bangunan berusia 14 tahun yang awalnya dibangun sebagai tempat penyulingan air laut menjadi air tawar. 

Sayangnya, karena tidak ada pemeliharaan, peralatan di dalamnya sudah berkarat dan tidak bisa dipakai lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun