"Awalnya mah bingung juga. Bank air teh seperti apa? Tapi setelah rembugan terus, kita sepakat bikin semacam penampungan air besar dari sumber air yang ada di atas," lanjut Bubun, menunjuk ke Selatan arah perbukitan yang tampak menghijau di kejauhan.Â
Sumber air yang dimaksud adalah mata air kecil yang selama ini hanya dimanfaatkan seadanya.
Dengan semangat gotong royong, para petani mulai bergerak. Mereka bahu-membahu mengumpulkan dana seadanya, menyumbangkan tenaga, dan memanfaatkan alat-alat pertanian sederhana yang mereka miliki.Â
Tua muda, laki-laki perempuan, semua ikut terlibat. Ada yang bertugas mencari material seperti batu dan pasir, ada yang menggali tanah, ada pula yang membantu mengangkut air secara manual untuk proses pembangunan.
Proses pembangunan bank air desa ini tidaklah mudah. Mereka harus berhadapan dengan kondisi geografis yang berbukit, keterbatasan dana, dan minimnya pengetahuan teknis.Â
Namun, semangat kebersamaan dan keyakinan akan masa depan yang lebih baik menjadi pendorong utama mereka.Â
Mereka belajar secara otodidak, bertukar informasi dari petani lain yang memiliki pengalaman serupa, dan tak jarang meminta bantuan dari beberapa kenalan yang memiliki sedikit pengetahuan tentang konstruksi sederhana.
"Yang penting mah niat. Kalau semua punya niat yang sama, pekerjaan seberat apapun pasti terasa ringan," ujarnya.
Ia menceritakan bagaimana setiap sore, setelah selesai bekerja di sawah, para petani berkumpul di lokasi pembangunan bank air. Mereka bekerja hingga larut malam, diterangi cahaya obor dan semangat kebersamaan.
Setelah berbulan-bulan penuh kerja keras, bank air desa impian mereka akhirnya terwujud. Sebuah penampungan air sederhana namun kokoh berdiri di dekat sumber mata air.Â
Air dari mata air dialirkan melalui saluran-saluran kecil yang mereka buat secara manual menuju penampungan. Dari penampungan inilah, air kemudian didistribusikan ke sawah-sawah melalui saluran irigasi yang juga mereka perbaiki dan perluas secara bersama-sama.