Mohon tunggu...
Jujun Junaedi
Jujun Junaedi Mohon Tunggu... Penulis dan Pendidik dari Bandung 31324

Pendidik dan pemerhati lingkungan. Aktif mengedukasi di sekolah berwawasan lingkungan di Kota Bandung sejak 1997

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Merdeka dari Kekeringan: Kisah Perjuangan Petani di Ujung Bandung dengan Bank Air Desa

12 Mei 2025   20:05 Diperbarui: 12 Mei 2025   20:05 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petak sawah yang tergenang air di Kampung Cicadas, Desa Margaasih, Cicalengka, Kab Bandung, Jabar, Senin (12/5/2025). | Dok. Pribadi/Jujun Junaedi

Di ujung Bandung, sebuah julukan akrab bagi desa yang membentang di timur terjauh Kabupaten Bandung, Jawa Barat, terhampar Desa Margaasih. Desa ini dikenal luas sebagai lumbung pertanian, dengan hamparan sawah yang menghijau. 

Namun, tak semua petak sawah di Margaasih diberkahi limpahan air. Kampung Cicadas dan Garogol, dua wilayah di desa ini, harus berjuang keras dengan keterbatasan sumber air, memaksa para petani hanya mampu menanam padi satu hingga dua kali dalam setahun.

Awal musim kemarau tahun 2025 membawa angin segar bagi Cicadas dan Garogol. Area pesawahan di kedua kampung itu terbebas dari ancaman kekeringan. 

Pemandangan traktor membajak sawah menjadi pemandangan yang lazim, menandakan harapan baru bagi para petani untuk menanam padi untuk ketiga kalinya dalam setahun. 

Keajaiban ini bukanlah datang begitu saja. Ia adalah buah dari kerja keras, gotong royong, dan inisiatif swadaya para petani desa dalam membangun sebuah solusi sederhana namun berdampak besar yakni bank air desa.

Bubun (59), seorang petani Kampung Cicadas, Desa Margaasih, Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung, dengan antusias berbagi kisah perjuangannya dan para petani lainnya dalam mewujudkan bank air desa yang kini mengairi sawah mereka. 

Di bawah terik matahari Senin siang (12/5/2025), kerutan di wajahnya seolah menyimpan jejak-jejak musim kemarau yang pernah mengancam mata pencaharian mereka. Namun, matanya kini berbinar penuh harapan.

"Dulu mah, kalau kemarau datang, ya sudah pasrah. Sawah teh kering kerontang, jangankan buat nanem, buat minum hewan juga susah," kenang Bubun dengan nada prihatin.

Ia menceritakan bagaimana kekeringan seringkali memaksa mereka untuk menganggur berbulan-bulan, menunggu datangnya hujan yang tak pasti. Hasil panen yang minim tak jarang membuat mereka terlilit utang dan kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kondisi sulit inilah yang kemudian memantik semangat kebersamaan di antara para petani. Mereka sadar, ketergantungan pada alam semata tidak akan membawa perubahan. 

Harus ada upaya konkret, sebuah solusi yang lahir dari kebutuhan dan kemampuan mereka sendiri. Ide tentang bank air desa pun mulai bergulir dalam obrolan-obrolan di pelataran rumah, di sela-sela bekerja di sawah, hingga dalam pertemuan-pertemuan kecil kelompok tani.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun