Zakat Fitrah, sebagai salah satu rukun Islam, memiliki makna yang sangat mendalam dalam kehidupan umat Muslim. Secara tradisional, zakat ini ditunaikan dalam bentuk makanan pokok, seperti beras, dengan takaran yang telah ditetapkan, yaitu satu sha.Â
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan modern, muncul fenomena baru dalam praktik zakat fitrah, yaitu transaksi "penjual pembeli nominal". Dalam transaksi ini, zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk uang tunai yang setara dengan nilai makanan pokok yang seharusnya diberikan.Â
Fenomena ini memunculkan berbagai pertanyaan dan perdebatan di kalangan ulama dan masyarakat mengenai keabsahan dan implikasinya dalam konteks syariat Islam.
Transaksi "penjual pembeli nominal" dalam zakat fitrah pada dasarnya melibatkan dua pihak, yaitu muzakki (orang yang wajib membayar zakat) dan amil zakat (pihak yang mengelola dan mendistribusikan zakat). Muzakki menyerahkan sejumlah uang tunai kepada amil zakat, yang kemudian dianggap sebagai pengganti dari penyerahan makanan pokok.Â
Amil zakat kemudian menggunakan uang tersebut untuk membeli makanan pokok dan mendistribusikannya kepada mustahik (orang yang berhak menerima zakat). Meskipun terlihat praktis dan efisien, transaksi ini memunculkan pertanyaan mengenai kesesuaiannya dengan ketentuan syariat, terutama dalam hal takaran dan jenis barang yang dizakatkan.
Perdebatan mengenai transaksi "penjual pembeli nominal" dalam zakat fitrah melibatkan berbagai aspek, mulai dari landasan hukum, implikasi ekonomi, hingga dampak sosial. Beberapa ulama berpendapat bahwa transaksi ini sah, dengan alasan bahwa tujuan utama zakat fitrah adalah untuk memberikan makanan kepada fakir miskin, dan tujuan ini dapat tercapai melalui penyerahan uang tunai.Â
Namun, ulama lain berpendapat bahwa transaksi ini tidak sah, karena menyimpang dari ketentuan syariat yang secara jelas menyebutkan makanan pokok sebagai barang yang dizakatkan.
Landasan Hukum
Landasan hukum transaksi "penjual pembeli nominal" dalam zakat fitrah memunculkan perdebatan sengit di kalangan ulama. Perbedaan pendapat ini berakar dari penafsiran hadis dan dalil-dalil syariat yang mengatur zakat fitrah. Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fitrah harus ditunaikan dalam bentuk makanan pokok, sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam hadis.Â
Namun, ulama lain berpendapat bahwa penunaian zakat fitrah dalam bentuk uang tunai sah, asalkan nilai uang tersebut setara dengan harga makanan pokok yang seharusnya diberikan. Mereka menggunakan qiyas dan ijtihad untuk memperluas cakupan ketentuan zakat fitrah, dengan mempertimbangkan maslahah mursalah (kemaslahatan umum) dan kondisi sosial ekonomi masyarakat modern.
Penggunaan qiyas dan ijtihad dalam konteks ini menjadi krusial dalam menentukan keabsahan transaksi "penjual pembeli nominal". Qiyas memungkinkan ulama untuk menganalogikan zakat fitrah dengan transaksi jual beli, di mana uang tunai dapat digunakan sebagai pengganti barang.Â