Pada akhirnya, perjalanan sebagai penglaju mengajarkan saya bahwa kursi di transportasi umum hanyalah metafora. Hidup ini selalu menawarkan "kursi" dalam berbagai bentuk: kesempatan, kenyamanan, atau privilese kecil. Kadang kursi itu memang milik kita, kadang harus kita berikan kepada orang lain. Tapi yang paling penting, kita belajar kapan harus berdiri, dan kapan harus duduk.
Saya akhirnya memutuskan untuk meminta mutasi, pindah mengajar di sekolah dekat rumah. Bukan karena menyesal menjadi penglaju, melainkan karena ingin menjaga tubuh agar tetap sehat. Perjalanan panjang dari mikrolet, Mayasari, hingga Transjakarta justru menjadi pengalaman berharga yang membentuk cara pandang saya terhadap kebaikan kecil yang sering hadir tanpa pamrih.
Kini, setiap kali mendengar cerita orang tentang random act of kindness di transportasi umum, saya selalu teringat satu hal: jangan remehkan dampaknya. Karena sebuah kursi yang diberikan dengan ikhlas bisa meninggalkan jejak yang lebih panjang dari sekadar perjalanan harian.
Dan mungkin, itulah warisan terbesar dari enam belas tahun menjadi penglaju Pondok Gede--Senen. Bahwa di balik kepadatan jalanan Jakarta, masih ada ruang kecil untuk kemanusiaan---ruang yang sering muncul diam-diam, tanpa pamrih, di bangku panjang Transjakarta atau kursi keras Mayasari.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI