Mohon tunggu...
Julius Deliawan
Julius Deliawan Mohon Tunggu... Guru - https://www.instagram.com/juliusdeliawan/

Guru yang belajar dan mengajar menulis. Email : juliusdeliawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Menggugat Takdir

10 Mei 2020   08:19 Diperbarui: 10 Mei 2020   08:20 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku ingin membuat cerita yang berbeda dari para penulis yang namanya hebat-hebat itu. Aku tidak ingin seorang pun terluka ketika membaca cerita-ceritaku.

Tidak ada putus cinta. Tidak ada cinta yang gagal karena ditinggal mati. Tidak ada kisah gadis yang mengorbankan cintanya demi ayah, bayar utang, atau karena perjanjian. Atau pemuda penuh cinta yang dikecewakan karena kekasihnya menikahi orang lain.

Ceritaku harus selalu cerita yang berakhir dengan bahagia. Mereka yang saling mencintai, sudah selayaknya menikah dan bahagia hingga maut memisahkan. Tidak ada perselingkuhan, apalagi perampasan hak, semuanya hidup dalam cinta kasih.

“Ini kisah di surga, apa di dunia Je-de-a?” 

Aku hanya tersenyum ketika teman-teman mulai merasa ganjil dengan cita-citaku itu. Lagipula apa yang salah dengan mimpi-mimpi bahagia. Bukankah hidup sudah sedemikian rumit. 

Kenapa, ketika membaca, menikmati masa-masa paling intim dengan dirinya sendiri pun, orang harus disuguhi dengan kisah-kisah tragis. Sesuatu yang barangkali telah ia alami dalam kehidupan nyata. Begitu sulitkah kita untuk mendapatkan kisah-kisah bahagia? 

Padahal tidak satupun dari kita menginginkan hidup yang rumit dan berakhir tragis. Tidak ada! Tetapi kenapa kita senang memeliharanya dalam pikiran? Siapa yang sebenarnya  ganjil jalan pikirannya, aku atau mereka?

Ini bukan tentang surga! Ini murni keinginan untuk merekonstruksi pikiran manusia. Bukan kisah tentang kejayaan, tetapi selalu berdasarkan pada keberhasilan menguasai, menjajah, menindas dan menundukkan yang lain. Bukan kepahlawanan yang lahir karena proses-proses yang berdarah-darah. Bukan!

Aku mulai berpikir, kenapa kita terus berperang?  Karena manusia mendambakan kejayaan dan memuja kepahlawanan. Karena aku tahu bagaimana sejarah mengkisahkan kejayaan dan kepahlawanan. Keduanya lahir dari proses yang berdarah-darah. 

Peperangan dimana-mana, dan mereka lahir sebagai pemenang. Itulah kejayaan, itulah kepahlawanan. Selama manusia menikmati keberadaannya, perang tidak akan pernah berakhir. Aku benci  perang, maka peperangan tidak akan pernah menghiasi lembaran kisah yang akan kubuat.

Kejayaan dan kepahlawanan, harus dihasilkan dari kisah-kisah yang baru. Aku harus meruntuhkan teori-teori lama tentang kejayaan dan kepahlawanan. 

Kejayaan yang biasanya dilahirkan karena kemampuan mendominasi, harus berubah menjadi kemampuan bertahan dalam dominasi dan mempengaruhi pendominasi, tanpa kekerasan. Kemerdekaan tanpa peperangan. Menang tanpa ngasorake. Demikian juga dengan pahlawan dan kepahlawanan.

“Kekuatan kisah itu dari konflik Je-de-a, itu sudah takdirnya  !”

Konflik sebagai sebuah takdir? Bumbu agar cerita menjadi seru. No ! Mungkin iya bagi yang lain, tetapi tidak bagiku. Itu bukan takdir ! Itu hasil konstruksi para penulis, yang kita anggap tidak ada persoalan hingga hari ini. 

Kita hanya terbiasa melanjutkan, tanpa ada kemauan mengkritisinya. Mengapa harus konflik yang menjadi kekuatan? Bukan yang lain? Padahal ada begitu banyak pilihan yang dapat diambil. Tidak harus konflik!

Sama halnya dengan konstruksi kenapa perempuan harus berada di rumah dan laki-laki bekerja untuk keluarga. Ini juga hasil konstruksi berpikir manusia. Para pejuang gender mulai berhasil mengubahnya. Kenapa tidak untuk cerita dalam dunia kisah. Harus ada yang memulai.

Kita ingin bahagia, kenapa tidak kita sebarkan virus kebahagiaan. Kita ingin dunia damai sejahtera, jangan lagi bangga pada perang. Tenggelamkan perang dalam dunia tergelapnya. Biarkan ia mati sejak dalam pikiran. Demikian juga penindasan, patah hati dan masih banyak lainnya lagi yang harus kita revisi.

Kini aku bangga, cita-cita itu perlahan mulai menemukan titik terang. Tulisan-tulisanku mulai ada yang membaca. Beberapa perempuan menghubungiku, mengucapkan terima kasih padaku. Ia bisa membuat keluarganya bahagia. Tertawa lepas di meja makan, memuji sang mama, menjadikannnya pahlawan tanpa harus menjadi pemenang di medan pertempuran.

Aku sudah memulai dijalan yang benar dengan perjuanganku meraih mimpi, dengan buku pertamaku; kumpulan resep masakan tradisional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun