Bahasa Indonesia terus berubah. Perubahan ini dipercepat oleh cara bicara Gen Z. Mereka tumbuh dengan media sosial, internet, dan budaya global. Akibatnya, banyak kosakata asli tergeser oleh bahasa gaul dan istilah asing.
Kata-kata seperti "baper," "gabut," "mager," "bucin," dan "halu" digunakan setiap hari. Istilah asli seperti "terlena," "pengangguran," "malas bergerak," atau "terobsesi" perlahan menghilang. Tidak digunakan lagi. Tidak dikenal lagi. Gen Z tidak merasa perlu memakainya (Kusyairi, Nisa, & Febrianti, 2024).
Gen Z juga sering mencampur Bahasa Indonesia dengan Bahasa Inggris. Mereka bilang "sorry ya," "gue ngertinya dari vibes-nya," atau "aku udah cancel plan-nya." Ini disebut campur kode. Pola ini terjadi dalam hampir semua platform sosial. Instagram. TikTok. YouTube. Chat WhatsApp. Di mana-mana.
Satu penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahasa gaul berpengaruh pada kemampuan menulis formal siswa. Remaja yang terbiasa dengan slang kesulitan menyusun teks akademik yang sesuai aturan (Nurani, 2022, dikutip dalam Kumparan, 2025). Mereka tidak mengenal kata baku. Mereka merasa kata-kata baku terlalu kaku.
Ini bukan hanya masalah gaya. Ini masalah fungsi. Bahasa yang baik bukan soal keren. Bahasa berfungsi menyampaikan pesan. Bila pesan tidak bisa dipahami, fungsi bahasa gagal. Bila generasi muda tidak bisa menulis surat resmi, laporan, atau artikel dengan struktur baku, akan muncul masalah lebih besar (Lestari, 2021).
Mengapa Kata Lama Menghilang
Ada beberapa penyebab utama:
* Media sosial dominan. Gaya bahasa yang disebarkan selebritas dan influencer lebih diikuti daripada guru atau tokoh masyarakat (Rahmawati, 2023).
* Globalisasi budaya. Bahasa Inggris dianggap lebih keren. Gen Z lebih suka bilang "cringe" daripada "memalukan."
* Efisiensi dan singkatan. Kata panjang dianggap tidak praktis. "Ngabuburit" lebih cepat daripada "menunggu waktu berbuka."
* Identitas kelompok. Bahasa gaul memberi rasa kebersamaan di antara sesama Gen Z. Bahasa baku dianggap "tua" (Kusyairi, Nisa, & Febrianti, 2024).